
RI News Portal. Tapanuli Selatan, 5 Agustus 2025 — Isu mengenai usulan pemberhentian Eddi Sulam Siregar sebagai anggota DPRD Tapanuli Selatan kembali mencuat setelah Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan yang menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun atas dirinya, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Putusan tersebut menjadi perhatian publik mengingat status Eddi sebagai wakil rakyat dari Partai NasDem yang dikenal aktif memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Dalam sebuah pernyataan resmi yang diterima redaksi pada Selasa (5/8/2025), pihak kuasa hukum Eddi Sulam Siregar menyampaikan beberapa hal terkait proses hukum dan polemik usulan pemberhentian antar waktu (PAW). Mereka menekankan penghormatan terhadap proses hukum yang sedang berlangsung, namun juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan konteks politik, hukum, dan sosial yang menyertai kasus ini.
Kasus yang menjerat Eddi Sulam Siregar bermula dari peristiwa kericuhan antara karyawan dan Humas PT SAE pada 16 Februari 2024 di proyek PLTA Marancar, Tapanuli Selatan. Berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/B/46/H/2024/SPKT/POLRES TAPSEL/POLDA SUMUT, sejumlah individu ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Eddi Sulam Siregar.

Berdasarkan Putusan Nomor 450/Pid.B/2024/PN Psp tanggal 3 Februari 2025, Eddi divonis dua tahun penjara karena dinilai terbukti menyuruh melakukan tindakan pidana kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Meskipun tidak terbukti melakukan kekerasan secara langsung, keterlibatannya sebagai pihak yang menyuruh menjadi dasar hukuman.
Kuasa hukum menegaskan bahwa Eddi telah menempuh seluruh upaya hukum, termasuk banding dan kasasi, dan kini tengah menyiapkan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah hukum lanjutan. Vonis dua tahun tersebut kini dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Menurut Pasal 119 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, seorang anggota DPRD dapat diberhentikan antar waktu apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan catatan bahwa tindak pidana tersebut diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih.
Putusan yang dijatuhkan kepada Eddi Sulam Siregar adalah dua tahun penjara atas dakwaan penyertaan dalam tindakan kekerasan (Pasal 55 KUHP), yang bukan merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun. Oleh karena itu, secara normatif, terdapat ketidakjelasan apakah kondisi ini memenuhi syarat pemberhentian antar waktu.
Lebih jauh lagi, berdasarkan Pasal 407 ayat (1) UU MD3 dan Pasal 99 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Tata Tertib DPRD, usulan pemberhentian antar waktu hanya dapat dilakukan melalui surat resmi dari pimpinan partai politik pengusung. Dalam hal ini, DPW dan DPP Partai NasDem dikabarkan masih memberikan dukungan penuh kepada Eddi Sulam Siregar.
“Tanpa adanya surat resmi dari partai politik pengusung, lembaga DPRD tidak dapat memproses PAW secara hukum. Proses itu bukan wewenang sepihak DPRD atau kepala daerah,” tegas kuasa hukum Eddi, Heri Triska Siregar.
Kasus ini tidak hanya menjadi perdebatan hukum, tetapi juga memantik respons sosial yang cukup luas. Sejak awal persidangan, ratusan masyarakat dari daerah pemilihan Eddi hadir secara sukarela di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan sebagai bentuk dukungan moral. Bahkan lebih dari 500 orang, termasuk mahasiswa dan organisasi masyarakat, pernah melakukan aksi unjuk rasa menuntut pembebasan Eddi.
Menurut berbagai pihak, termasuk rekan-rekan Eddi di DPRD Tapsel, sosoknya dikenal konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Dalam narasi publik, vonis pidana terhadap Eddi dianggap tidak menghapus rekam jejak positifnya selama menjabat sebagai legislator.
Namun demikian, isu etik dan moralitas juga mencuat. Beberapa kalangan menilai bahwa meskipun secara hukum formal Eddi tidak dapat diberhentikan tanpa usulan partai, tetap ada pertimbangan etis dan kepercayaan publik yang harus dijaga.
Kasus ini menempatkan publik pada simpang jalan antara legalitas formal dan legitimasi moral. Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang demokratis, keberadaan anggota legislatif yang telah menerima vonis pidana bisa mengganggu persepsi publik terhadap integritas institusi DPRD.
Namun dalam kerangka hukum tata negara dan hukum administrasi negara, mekanisme pemberhentian anggota DPRD jelas diatur oleh hukum positif yang mengutamakan legalitas prosedural. Tanpa usulan resmi dari partai pengusung, tidak ada dasar hukum yang sah untuk melaksanakan PAW.

Oleh karena itu, perlu dicermati bahwa pemberhentian anggota legislatif bukan hanya perihal moralitas, tetapi harus berdiri tegak pada fondasi hukum yang berlaku. Ketergesaan atau tekanan politik untuk memberhentikan anggota DPRD tanpa prosedur hukum yang tepat justru berisiko menyalahi prinsip due process of law.
Sampai hari ini, Partai NasDem sebagai pengusung Eddi Sulam Siregar belum mengeluarkan surat resmi usulan pemberhentian antar waktu. Hal ini berarti, secara hukum, status Eddi sebagai anggota DPRD Tapanuli Selatan masih sah dan berlaku hingga ada keputusan sebaliknya dari partai dan lembaga terkait.
Persoalan ini menjadi pelajaran penting mengenai hubungan antara hukum pidana, hukum tata negara, etika politik, dan mekanisme perwakilan rakyat dalam sistem demokrasi. Apapun perkembangan ke depan, penyelesaian isu ini hendaknya mengedepankan prinsip keadilan, kehati-hatian, dan penghormatan terhadap hak konstitusional setiap warga negara.
Pewarta : Adi Tanjoeng
