
RI News Portal. Denpasar – Di balik indahnya alam Bali, terukir kisah perjuangan yang tak lekang oleh waktu. Kisah ini bukan tentang perang besar dengan persenjataan canggih, melainkan tentang keberanian yang membara dari hati seorang putri. Gunung Batukaru menjadi saksi bisu, saat seorang putri berdiri menantang badai penjajahan. Tabanan mungkin telah jatuh, tapi semangatnya tak pernah roboh.
Perlawanan Seorang Putri
Tahun 1906 menjadi tahun kelam bagi Kerajaan Tabanan. Setelah sang Raja, I Gusti Rai Perang, gugur dalam tipu muslihat Belanda di Puri Denpasar, kerajaan pun runtuh. Satu-satunya pewaris takhta adalah sang adik bungsu, seorang putri bernama Sagung Ayu Wah.

Ketika sebagian besar keluarga kerajaan diasingkan ke Lombok, Sagung Wah berhasil meloloskan diri. Ia menemukan perlindungan di Desa Wangayagde, sebuah desa yang dipimpin oleh Pasek Kubayan. Di sana, ia tidak tinggal diam. Ia mengumpulkan kembali semangat rakyat dan mengobarkan perlawanan yang dikenal dengan sebutan “Balikan Wangaya”.
Lahirnya Semangat Balikan Wangaya
Awal Desember 1906, suara kulkul dan kentongan desa bersahutan, menandai dimulainya persiapan perlawanan. Sagung Ayu Wah, dalam balutan pakaian putih dan ikat kepala putih, memimpin pasukan di barisan terdepan. Di tangannya, ia menggenggam dua keris pusaka yang sakral: Gede Bong Belus dan Tinjak Lesung. Pasukannya, yang dipersenjatai tombak bercabang lima dan simbol cakra dari Pura Luhur Batukaru, bergerak penuh keyakinan.
Saat berhadapan dengan tentara Belanda di Banjar Tuakilang, sebuah keajaiban terjadi. Senjata pusaka yang dibawa pasukan Sagung Ayu Wah dipercaya membuat senjata Belanda tak berfungsi—meriam dan bedil mereka seakan lumpuh. Pasukan Belanda terpaksa mundur dan meminta bantuan ke Puri Kaleran, yang kemudian menggunakan senjata khusus, Ki Tulup Empet, untuk menetralisir kekuatan pusaka dari Batukaru.
Pertempuran pun menjadi seimbang, namun pasukan Sagung Ayu Wah kewalahan dan sebagian terpaksa mundur. Ia kemudian pindah ke Puri Anyar Kerambitan untuk melanjutkan perjuangannya.
Dua hari setelah tiba di sana, utusan dari Tabanan datang memintanya kembali untuk memimpin sebagai ratu. Namun, itu hanyalah tipu muslihat licik Belanda. Saat dalam perjalanan, tepatnya di depan Pura Manik Selaka di Dauh Pala, Sagung Ayu Wah ditangkap. Ia diasingkan ke Lombok, jauh dari tanah kelahiran yang dicintainya, dan menghembuskan napas terakhirnya di sana.
Meskipun berakhir dengan kekalahan dan pengasingan, semangat Sagung Ayu Wah tetap hidup. Ia membuktikan bahwa perjuangan tidak mengenal gender. Ia adalah simbol keberanian, kepemimpinan, dan keteguhan hati seorang perempuan muda. Kisah perjuangannya dalam “Balikan Wangaya” menunjukkan bahwa perlawanan tidak hanya milik mereka yang bersenjata, tetapi milik mereka yang berani melawan dan bersatu. Semangat patriotik dan kesatria dari Tanah Bali ini akan terus dikenang, menginspirasi generasi demi generasi.
Pewarta : Jhon Sinaga
