
RI News Portal. Jakarta, 1 Oktober 2025 – Di tengah dinamika ekonomi pasca-pandemi yang masih fluktuatif, sektor perbankan Indonesia menghadapi tantangan baru: sikap hati-hati yang ekstrem dari masyarakat dan lembaga keuangan itu sendiri. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyoroti fenomena “wait and see” ini sebagai respons logis terhadap maraknya kejahatan perbankan, yang tidak hanya menggerus kepercayaan publik tetapi juga menghambat aliran kredit produktif. Analisis ini muncul dari diskusi mendalam yang menggali kolaborasi antarlembaga untuk memperkuat kapasitas penyelenggara publik di sektor keuangan.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dalam focus group discussion bertajuk “Kolaborasi Peningkatan Kapasitas Penyelenggara Publik Perbankan” di Jakarta pada Selasa lalu, mengungkapkan bahwa masyarakat ragu-ragu mengajukan kredit karena khawatir data pribadi mereka disalahgunakan. “Keamanan data nasabah kini berada pada fase yang sangat serius, sehingga peningkatan proteksi menjadi keharusan mutlak,” ujar Yeka, seperti dikonfirmasi pada Rabu. Ia menekankan bahwa era digital telah memperburuk risiko ini, di mana informasi sensitif bisa dieksploitasi untuk tujuan kriminal, mulai dari pencurian identitas hingga penipuan finansial.
Dari perspektif perbankan sebagai pemberi kredit, keraguan tak kalah mendalam. Yeka menjelaskan bahwa kondisi ekonomi saat ini, yang masih rawan resesi dan inflasi, membuat bank enggan menyalurkan pinjaman karena potensi gagal bayar yang tinggi. “Tambahan lagi, ada risiko manipulasi administratif dari pemohon, seperti pemalsuan appraisal properti atau slip gaji, yang bisa berujung pada kredit macet,” tambahnya. Fenomena ini bukan sekadar anekdot; data historis menunjukkan bahwa kejahatan internal seperti ini sering kali menjadi pemicu kerugian besar bagi institusi keuangan.

Lebih lanjut, Yeka meragukan efektivitas kebijakan pemerintah yang menempatkan dana sebesar Rp200 triliun di perbankan, khususnya anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Ia memperingatkan potensi munculnya kredit fiktif, di mana bank menyalurkan dana menggunakan dokumen palsu atau data yang dimanipulasi untuk memenuhi target kinerja. “Dengan kemajuan teknologi informasi, kejahatan perbankan tetap akan ada. Sektor ini selalu menjadi target utama karena di situlah sumber keuangan berada,” tegas Yeka. Kredit fiktif, menurut definisinya, melibatkan penyaluran dana berdasarkan informasi yang tidak sesuai realitas, sering kali melibatkan kolusi internal atau eksternal.
Pernyataan Ombudsman ini sejalan dengan kekhawatiran lembaga antikorupsi. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengimbau kewaspadaan terhadap praktik serupa dalam penyaluran dana besar tersebut. Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan komitmen pemerintah untuk tidak mentolerir korupsi apa pun. “Jika bank terbukti menyalurkan kredit fiktif, pelakunya akan ditangkap dan dipecat. Tapi, dengan dana sebesar itu, saya ragu mereka berani mengambil risiko,” kata Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan pada Jumat, 19 September 2025.
Menurut Purbaya, dana Rp200 triliun tersebut dimaksudkan untuk dikelola melalui mekanisme bisnis masing-masing bank, tanpa intervensi langsung dari pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa pengawasan tetap ketat untuk memastikan transparansi. Pernyataan ini mencerminkan pendekatan hati-hati pemerintah dalam menyeimbangkan stimulus ekonomi dengan pencegahan penyelewengan.
Baca juga : Gampong Aceh: Benteng Otonomi dan Kearifan Lokal di Tengah Tantangan Penyelesaian Konflik
Analisis akademis terhadap isu ini menggarisbawahi implikasi jangka panjang: sikap wait and see bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional, di mana kredit seharusnya menjadi katalisator investasi dan konsumsi. Studi kasus dari negara-negara emerging markets menunjukkan bahwa kehilangan kepercayaan pada sistem perbankan sering kali memicu siklus stagnasi, di mana likuiditas berlimpah tapi tidak tersalurkan secara efektif. Untuk mengatasi ini, diperlukan reformasi holistik, termasuk peningkatan regulasi data digital dan penguatan audit internal bank.
Diskusi seperti yang digelar Ombudsman menjadi langkah awal menuju kolaborasi yang lebih kuat antarstakeholder. Namun, tanpa aksi konkret, fenomena wait and see berisiko menjadi norma baru, mengancam pemulihan ekonomi Indonesia yang masih rapuh. Para pakar ekonomi menyarankan agar pemerintah dan regulator segera mengimplementasikan teknologi blockchain untuk verifikasi data, guna membangun kembali kepercayaan yang hilang.
Pewarta : Yogi Hilmawan
