
RI News Portal. Semarang, 7 Agustus 2025 — Dunia kembali dihadapkan pada bayang-bayang ancaman nuklir setelah Rusia secara resmi mengakhiri pembatasan terhadap penempatan rudal jarak menengah yang sebelumnya diatur dalam Perjanjian INF (Intermediate-range Nuclear Forces). Langkah ini menyusul keputusan Amerika Serikat untuk menarik diri dari perjanjian tersebut pada tahun 2019, dan menandai berakhirnya salah satu tonggak penting dalam sejarah pengendalian senjata nuklir antara dua negara adidaya.
Kini, hanya satu perjanjian bilateral yang masih bertahan: New START, yang dijadwalkan berakhir pada 5 Februari 2026. Para ahli menyebut perjanjian itu “secara fungsional sudah mati” setelah Rusia menangguhkan partisipasinya menyusul invasi ke Ukraina, yang menyebabkan penghentian inspeksi langsung terhadap fasilitas nuklir Rusia.
“Berakhirnya perjanjian-perjanjian ini tidak serta-merta membuat perang nuklir lebih mungkin terjadi, tapi jelas tidak membuatnya lebih kecil kemungkinannya,” ujar Alexander Bollfrass, pakar pengendalian senjata dari International Institute for Strategic Studies.

Sejak krisis rudal Kuba pada 1962, AS dan Uni Soviet telah menandatangani sejumlah perjanjian penting untuk meredakan ketegangan nuklir. Di antaranya SALT I dan ABM pada 1972, INF pada 1987, serta START I pada 1991. Perjanjian-perjanjian ini berhasil menurunkan jumlah hulu ledak nuklir secara signifikan. Pada puncaknya di tahun 1986, Uni Soviet memiliki lebih dari 40.000 hulu ledak, sementara AS memiliki lebih dari 20.000. Kini, menurut Federation of American Scientists, Rusia memiliki 5.459 hulu ledak dan AS 5.177 — bersama-sama mencakup 87% dari total senjata nuklir dunia.
Namun, tren pengurangan senjata nuklir kini terancam terhenti. Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengumumkan rencana penempatan rudal hipersonik Oreshnik di Belarus, sekutu dekat Moskow. Sementara itu, AS juga berencana menempatkan rudal konvensional jarak menengah di Eropa dan Pasifik.
Kemungkinan perjanjian baru antara AS dan Rusia dinilai sangat kecil. “Tingkat kepercayaan yang dibutuhkan untuk negosiasi dan pelaksanaan perjanjian pengendalian senjata tidak ada saat ini,” kata Sidharth Kaushal dari Royal United Services Institute, London.
Baca juga : Trump Siap Bertemu Putin, Upaya Akhiri Perang Rusia-Ukraina Makin Intens
AS kini semakin fokus pada ancaman dari negara lain seperti China, Iran, dan Korea Utara. Pemerintahan Bush dan Trump sebelumnya menarik diri dari beberapa perjanjian dengan alasan bahwa kesepakatan tersebut tidak membatasi pembangunan senjata oleh negara-negara tersebut.
Kaushal memperingatkan bahwa meningkatnya kekuatan nuklir China bisa memicu “spiral kompetitif” di mana AS dan Rusia saling meningkatkan arsenal mereka untuk mempertahankan posisi strategis.
Meski perjanjian-perjanjian era Perang Dingin berakhir, para ahli menekankan bahwa pola pikir kehancuran bersama yang dijamin (mutually assured destruction) masih menjadi penahan utama terhadap konflik nuklir.
Namun, dengan semakin sedikitnya mekanisme pengawasan dan meningkatnya ketegangan global, dunia kini menghadapi masa depan yang lebih tidak pasti dalam hal keamanan nuklir.
Pewarta : Setiawan Wibisono S.TH
