RI News Portal. Jakarta, 11 Desember 2025 – Suasana di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, tampak tegang namun terkendali pada Rabu pagi ini. Sekitar pukul 11.00 WIB, puluhan anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), sayap pengamanan dan kemanusiaan Nahdlatul Ulama (NU), terlihat berjaga ketat di depan gerbang utama, halaman depan, serta area dalam gedung yang juga berfungsi sebagai kantor pusat organisasi tersebut. Kehadiran mereka bukan sekadar rutinitas, melainkan respons preventif terhadap eskalasi konflik internal yang kian memanas sejak malam sebelumnya.
Konflik ini berakar pada perbedaan interpretasi mekanisme kepemimpinan PBNU, sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar/Dasar Rumah Tangga (AD/ART) organisasi. Pada Selasa malam (9/12/2025), kubu yang dipimpin Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar—dikenal sebagai Kiai Miftach—menyelenggarakan rapat pleno di sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta. Rapat tersebut, yang dipimpin Rais Syuriyah PBNU KH Muhammad Nuh, secara resmi menetapkan Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa sebagai Pelaksana Tugas (Pj) Ketua Umum untuk masa jabatan sisa hingga Muktamar ke-35 pada 2026. Penetapan ini secara eksplisit menggantikan posisi KH Yahya Cholil Staquf, atau Gus Yahya, yang dianggap telah diberhentikan efektif sejak 26 November 2025 berdasarkan Surat Edaran Syuriyah Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025.

Dokumen surat edaran tersebut, yang dikeluarkan pasca-rapat harian Syuriyah pada 20 November 2025, menyoroti dugaan penyimpangan tata kelola keuangan PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya. Menurut risalah rapat yang ditandatangani Kiai Miftach, pelanggaran tersebut melanggar Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 serta prinsip-prinsip keuangan berbasis syariah. “Keputusan ini bukanlah sanksi pribadi, melainkan upaya menjaga integritas organisasi yang telah dirintis sejak 1926,” ujar seorang sumber dekat Syuriyah yang enggan disebut namanya, menekankan bahwa proses ini telah melibatkan musyawarah dengan Wakil Rais Aam seperti KH Afifuddin Muhajir dan KH Anwar Iskandar.
Namun, kubu Gus Yahya dengan tegas menolak keabsahan rapat pleno tersebut. Mereka berargumen bahwa pertemuan di hotel Senayan tidak memenuhi kuorum minimal sebagaimana diatur AD/ART, dan prosedurnya bertentangan dengan rekomendasi para kiai sepuh NU yang menekankan rekonsiliasi melalui Dewan Arbitrase PBNU. “Ini bukan kelanjutan dari sesuatu yang konstitusional; prosedur dan mekanismenya jelas tidak sesuai tatanan yang ada,” tegas Gus Yahya saat ditemui usai audiensi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, pada Rabu siang. Ia menambahkan bahwa upaya kontak pribadi dengan Kiai Miftach sejak 17 November 2025 belum mendapat respons memadai, meskipun ia tetap terbuka untuk dialog.
Baca juga : Kecelakaan Tunggal di Jalur Jogja-Wonosari: Pelajar Luka Berat, Masih Dirawat Intensif
Sekretaris Jenderal PBNU versi kubu Gus Yahya, KH Amin Said Husni, membenarkan bahwa aktivitas kantor berjalan normal. “Iya, sekarang kami sedang rapat di Kantor PBNU,” katanya singkat melalui pesan suara, menegaskan bahwa Gus Yahya dan jajaran Tanfidziyah (pengurus harian) masih menempati ruang-ruang utama gedung. Di sisi lain, tanda-tanda transisi tampak nyata: karangan bunga ucapan selamat atas “rotasi kepengurusan Tanfidziyah” masih menghiasi halaman depan, sementara beberapa staf tampak beraktivitas biasa di lobi. KH Zulfa Mustofa sendiri, yang juga keponakan Wakil Presiden ke-13 RI KH Ma’ruf Amin, menyatakan komitmennya untuk menjaga persatuan. “Saya berjanji menjalankan amanah ini seadil-adilnya, sebersih-bersihnya, dan sesantun-santunnya, karena Tanfidziyah adalah santri,” ujarnya usai pleno, sambil mengajak seluruh nahdliyin untuk bersatu tanpa dualisme.
Dari perspektif historis, konflik ini mencerminkan dinamika internal NU yang sering kali muncul menjelang muktamar, di mana otoritas Syuriyah (pimpinan spiritual) bersinggungan dengan Tanfidziyah (pimpinan eksekutif). Sejak berdirinya pada 1926, NU telah mengalami beberapa friksi serupa, seperti pada era 1950-an saat perbedaan visi antara ulama tradisionalis dan modernis. Analisis dari pengamat organisasi kemasyarakatan menilai bahwa isu keuangan—termasuk dugaan keterlibatan dalam konsesi tambang—mungkin hanya pemicu permukaan, sementara akar masalahnya terletak pada visi kepemimpinan pasca-pandemi. “NU sebagai ormas terbesar di Indonesia harus segera menyelesaikan ini melalui arbitrase, agar tidak mengganggu peran sosialnya seperti pengamanan pemilu atau bantuan kemanusiaan,” kata Dr. Ahmad Zainul Hamdi, pakar sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam wawancara terpisah.

Hingga kini, tidak ada insiden kekerasan yang dilaporkan, dan Banser—yang dikenal sebagai pasukan pengamanan, kemanusiaan, dan sosial NU—menjalankan tugasnya dengan disiplin. Kehadiran mereka di gedung PBNU bukan hanya simbolik, melainkan bagian dari protokol keamanan internal untuk mencegah eskalasi. Sementara itu, kubu Gus Yahya mengumumkan rencana rapat pleno tandingan pada Kamis (11/12/2025), dengan agenda konsolidasi organisasi dan undangan terbuka bagi KH Zulfa Mustofa. Apakah ini akan menjadi jalan keluar, atau justru memperlebar jurang perpecahan, masih menjadi tanda tanya besar bagi 90 juta anggota NU di seluruh negeri.
Pewarta : Yudha Purnama

