RI News Portal. Jakarta 28 November 2025 – Dalam perkembangan yang menandai langkah bersejarah menuju penyelesaian konflik berkepanjangan di Eropa Timur, delegasi Amerika Serikat dan Ukraina telah menyepakati 18 dari 20 ketentuan utama dalam draf perjanjian damai yang muncul dari putaran perundingan intensif di Jenewa. Kesepakatan ini, yang menyusut dari proposal awal berisi 28 poin, merepresentasikan kompromi diplomatik yang hati-hati, di mana kedua pihak saling mengalah untuk membuka jalan bagi perdamaian berkelanjutan. Namun, dua isu krusial yang tersisa—diduga berkaitan dengan sengketa wilayah dan bentuk jaminan keamanan jangka panjang—tetap menjadi penghalang, menuntut intervensi langsung dari pemimpin tertinggi kedua negara.
Perundingan Jenewa, yang berlangsung selama dua hari akhir pekan lalu, dipicu oleh inisiatif perdamaian Presiden AS Donald Trump yang diluncurkan pasca-pertemuan di Gedung Putih pada 18 November. Rencana awal tersebut, yang didukung kuat oleh Wakil Presiden JD Vance dan Menteri Luar Negeri Marco Rubio, awalnya memicu kekhawatiran di kalangan sekutu Ukraina karena menuntut konsesi signifikan dari Kyiv, termasuk pengakuan atas kendali Rusia atas sebagian wilayah timur, pembatasan ukuran pasukan bersenjata, dan komitmen permanen untuk menjauhi integrasi dengan aliansi pertahanan Atlantik Utara. Meskipun demikian, revisi yang dilakukan selama diskusi di Jenewa berhasil memodifikasi elemen-elemen tersebut menjadi kerangka yang lebih seimbang, dengan penekanan pada prinsip-prinsip keamanan kolektif yang mirip dengan mekanisme pertahanan bersama.
Analisis mendalam terhadap dinamika negosiasi ini mengungkapkan pola diplomasi pragmatis yang dipengaruhi oleh konteks geopolitik pasca-pemilu AS. Trump, yang dikenal dengan pendekatan “deal-making” langsung, tampaknya memanfaatkan momentum pasca-kesepakatan gencatan senjata di Timur Tengah untuk mendorong kerangka serupa di Ukraina. Dukungan dari Vance dan Rubio, yang sering dispekulasikan mengalami perpecahan internal, justru terbukti sebagai kolaborasi strategis yang solid. Sumber dekat dengan proses tersebut menegaskan bahwa keduanya berfungsi sebagai “tim kohesif,” dengan Rubio memimpin dialog teknis di Jenewa sementara Vance mengoordinasikan aspek domestik di Washington. Pendekatan ini kontras dengan narasi spekulatif yang beredar, yang cenderung melebih-lebihkan ketegangan internal sebagai faktor penghambat.

Dari perspektif Ukraina, kesepakatan parsial ini mencerminkan kesiapan Presiden Volodymyr Zelenskyy untuk maju dalam diplomasi, meskipun dengan syarat bahwa isu sensitif seperti integritas teritorial dan jaminan keamanan harus diselesaikan melalui dialog bilateral dengan Trump. Sebelumnya, pejabat Ukraina telah menyinggung kepada outlet keuangan internasional bahwa keputusan akhir akan bergantung pada pertemuan puncak antara kedua pemimpin, yang potensial digelar dalam waktu dekat—mungkin bahkan sebelum akhir bulan ini. Zelenskyy, dalam pidato terbarunya kepada koalisi pendukung internasional, menekankan bahwa Kyiv siap “melangkah maju” dengan kerangka yang direvisi, sambil menuntut keterlibatan mitra Eropa untuk memastikan implementasi yang adil. Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan optimisme Kyiv terhadap proses, tetapi juga strategi untuk menyeimbangkan tekanan dari Washington dengan dukungan kontinental yang lebih luas.
Secara akademis, kemajuan ini dapat dianalisis melalui lensa teori realisme struktural, di mana kekuatan bargaining AS sebagai aktor dominan memaksa kompromi dari kedua belah pihak yang bertikai. Proposal awal Trump, yang menuntut konsesi Ukraina yang substansial, awalnya dilihat sebagai kemiringan pro-Rusia, mengingat elemen-elemen seperti amnesti bagi pelaku dugaan kejahatan perang dan pembentukan kelompok kerja keamanan bersama AS-Rusia. Namun, modifikasi di Jenewa—yang mempersempitnya menjadi 20 poin—telah memperkenalkan elemen baru, seperti komisi pemantauan yang dipimpin oleh mitra Eropa dengan partisipasi AS, serta komitmen untuk kerjasama ekonomi jangka panjang di bidang energi dan sumber daya alam. Ini menandakan pergeseran dari pendekatan unilateral menuju multilateralisme terstruktur, yang berpotensi mengurangi risiko pelanggaran pasca-perjanjian.
Meskipun demikian, tantangan ke depan tetap kompleks. Dua poin yang belum terselesaikan bukan hanya isu teknis, melainkan simbolis dari kedaulatan nasional Ukraina. Sengketa wilayah, khususnya di Donetsk dan wilayah timur lainnya, menyentuh inti dari narasi perlawanan Kyiv terhadap agresi Rusia sejak 2022. Sementara itu, jaminan keamanan AS—yang diusulkan sebagai kerangka 10 tahun yang dapat diperpanjang—harus meyakinkan bagi Ukraina tanpa memprovokasi eskalasi dari Moskow. Rusia, yang belum secara resmi merespons draf revisi, telah menyiratkan melalui saluran tidak resmi bahwa kesepakatan harus selaras dengan pemahaman sebelumnya antara Trump dan Presiden Vladimir Putin, termasuk tuntutan utama Kremlin seperti non-agresi komprehensif dan batasan militer Ukraina.
Implikasi jangka panjang dari kesepakatan ini melampaui Ukraina, memengaruhi stabilitas arsitektur keamanan Eropa secara keseluruhan. Jika berhasil, model ini bisa menjadi preseden untuk penyelesaian konflik hybrid modern, di mana diplomasi didukung oleh insentif ekonomi dan jaminan keamanan. Namun, kegagalan dalam menyelesaikan isu sensitif berisiko memperpanjang konflik, dengan konsekuensi kemanusiaan yang berkelanjutan—seperti serangan rudal baru-baru ini yang menewaskan warga sipil di Kyiv. Para analis internasional menyerukan keterlibatan PBB yang lebih kuat untuk memverifikasi kepatuhan, memastikan bahwa perdamaian bukan hanya kertas, tetapi realitas yang tahan lama.

Pada akhirnya, kesepakatan 18 poin ini adalah tonggak, bukan tujuan akhir. Ia menegaskan bahwa diplomasi, meskipun penuh taruhan tinggi, tetap menjadi alat paling efektif untuk mengakhiri penderitaan yang telah merenggut jutaan nyawa dan mengguncang tatanan global. Dengan pertemuan Trump-Zelenskyy di depan mata, dunia menanti apakah visi “terobosan” ini akan terwujud, atau kembali menjadi korban dinamika kekuasaan yang tak kenal kompromi.
Pewarta : Setiawan Wibisono

