
RI News Portal. Padangsidimpuan, 19 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk persiapan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-24 Pemerintah Kota (Pemko) Padangsidimpuan yang baru saja lewat, sebuah inisiatif sederhana dari sekelompok ibu rumah tangga di Kelurahan Wek 3, Kecamatan Sidimpuan Utara, menjadi sorotan. Mereka, yang akrab disapa “emak-emak”, menggelar acara hiburan dadakan berupa pentas tari dan joget ria untuk anak-anak usia dini serta siswa sekolah dasar. Kegiatan ini bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk penolakan halus terhadap keputusan Pemko yang memilih format seremonial semata, tanpa elemen rakyat yang selama ini menjadi tradisi.
Acara digelar di lapangan terbuka Gang Muhajirin, Kampung Teleng, pada akhir pekan lalu. Ratusan anak-anak dari Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) setempat bergabung, mengenakan kostum warna-warni sederhana yang dibuat dari kain bekas dan aksesoris rumah tangga. Ibu-ibu ikut nimbrung, menari mengikuti irama lagu-lagu daerah Batak dan pop nasional yang diputar dari speaker portabel. Suasana penuh tawa dan sorak-sorai, kontras dengan kekecewaan yang sempat menyelimuti mereka atas absennya hiburan rakyat resmi dari Pemko.
Rahayu, yang akrab disapa Mak Kembar, tokoh penggagas acara ini, mengungkapkan bahwa ide muncul dari rasa iba melihat mata-mata polos anak-anak yang menanti-nantikan pesta rakyat tahunan. “Anak-anak kami sudah hafal rutinitas HUT Pemko: ada panggung musik, pawai, dan tarian bersama. Tahun ini, harapan itu pupus begitu saja. Kami emak-emak ini merasa kasihan, makanya kami patungan dana secukupnya—dari arisan dan tabungan pribadi—untuk bikin acara kecil ini. Biar mereka nggak sedih, dan kami juga bisa joget ria melepas penat,” ceritanya sambil tersenyum, meski nada suaranya masih menyiratkan kekecewaan.

Keputusan Pemko Padangsidimpuan untuk membatasi perayaan HUT ke-24 hanya pada upacara seremonial di Stadion HM Nurdin, Jalan Melati, Kelurahan Ujung Padang, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, memang menjadi isu hangat di kalangan warga. Alasan efisiensi anggaran, yang sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penghematan Belanja Negara, membuat elemen hiburan rakyat seperti pawai, deville, dan pentas seni lenyap dari agenda. Padahal, sejarah mencatat bahwa tradisi ini telah menjadi bagian integral dari identitas kota sejak berdirinya Pemko pada 2001. Di bawah kepemimpinan Zulkarnain Nasution, Andar Amin Harahap, hingga Irsan Efendi Nasution, perayaan selalu diramaikan dengan kegiatan inklusif yang melibatkan masyarakat luas, termasuk lomba dan hiburan gratis. Hanya selama pandemi Covid-19 pada 2020-2021, tradisi itu sempat terhenti, sebelum kembali hadir pada 2022-2024.
Mak Kembar, yang juga menjabat sebagai ketua kelompok arisan di kampungnya, tak segan menyuarakan kritiknya. “Usia Pemko sudah 24 tahun, tapi kok tiba-tiba tradisi hilang di tangan pimpinan baru ini? Mereka baru memimpin hitungan bulan, tapi alasan efisiensi terdengar seperti dalih. Lihat daerah lain, meski serupa efisiensi, tetap ada cara kreatif rayakan HUT-nya. Kami emak-emak ini sangat kecewa, karena dari tahun ke tahun, hiburan rakyat itu yang bikin kota terasa hidup,” ujarnya, merujuk pada pasangan Walikota Letnan Dalimunthe dan Wakilnya Harry Pahlevi yang dilantik Februari lalu.
Sentimen serupa diungkapkan Irma Donni, warga lain yang turut andil dalam penggalangan dana acara. Sebagai ibu dua anak yang aktif di kegiatan PKK setempat, Irma mengaitkan kekecewaan ini dengan janji kampanye paslon terpilih. “Waktu kampanye, mereka janji makmurkan masyarakat, tanggapi keluhan rakyat, dan bikin motto ‘Mantap’ serta ‘APBD untuk Rakyat’. Tapi hiburan rakyat di HUT Pemko, yang langsung dirasai warga, malah dihapus. Ini APBD untuk rakyat yang mana? Kami kesal, tapi lebih kasihan anak-anak. Acara ini kami buat untuk hilangkan kekesalan itu, sekaligus tunjukkan bahwa rakyat bisa mandiri,” katanya dengan nada getir, sambil menggendong anaknya yang baru saja selesai menari.
Inisiatif emak-emak Wek 3 ini bukan hanya soal hiburan sesaat, tapi juga cerminan dinamika sosial di Padangsidimpuan pasca-pemilu 2024. Di satu sisi, efisiensi anggaran memang krusial di tengah tantangan ekonomi nasional, di mana APBD kota bergantung pada dana transfer pusat yang terbatas. Namun, di sisi lain, absennya elemen budaya dan rekreasi dalam perayaan negara bisa memicu rasa kehilangan kolektif, terutama di kalangan keluarga muda yang melihat HUT sebagai momen kebersamaan. Komisi III DPRD setempat, misalnya, sempat mengusulkan solusi seperti marching band sederhana atau gotong royong dana, tapi belum terealisasi sepenuhnya.
Bagi Mak Kembar dan kawan-kawannya, acara joget ria kemarin menjadi pelajaran berharga: meski Pemko memilih jalan efisiensi, semangat rakyat tak bisa dipadamkan begitu saja. “Kami harap pimpinan dengar suara kami. Tahun depan, mari kolaborasi—bukan cuma upacara, tapi pesta yang bikin anak-anak bangga jadi warga Padangsidimpuan,” tutupnya. Di Gang Muhajirin yang kini kembali tenang, jejak tawa anak-anak masih terngiang, sebagai pengingat bahwa tradisi tak selalu butuh anggaran besar, tapi hati yang tulus.
Pewarta : Indra Saputra
