
RI News Portal. Jepara 24 September 2025 —Di tengah hiruk-pikuk pembangunan infrastruktur energi nasional, warga Desa Tunggul Pandean, Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara, kembali merasakan pil pahit kekecewaan. Penantian mereka untuk bertemu langsung dengan Bupati Jepara guna menyampaikan aspirasi penolakan terhadap pembangunan Gardu Induk PLN berujung pada pembatalan agenda yang telah dijanjikan. Kejadian ini bukan hanya sekadar ingkar janji administratif, melainkan mencerminkan isu yang lebih dalam tentang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik, sebagaimana diatur dalam kerangka hukum Indonesia.
Awal mula konflik ini dapat ditelusuri sejak rencana pendirian gardu induk tersebut diumumkan, yang langsung menuai penolakan dari warga setempat. Menurut pernyataan resmi dari tim kuasa hukum warga, proyek ini dinilai berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, keselamatan, dan lingkungan sekitar. “Kami meminta Bupati Jepara memegang komitmen yang pernah diucapkan di hadapan kami. Warga berhak didengar langsung oleh pemimpinnya, bukan hanya diberi janji atau diwakilkan pada pejabat lain,” ujar WW, perwakilan tim Kuasa Warga Tunggul Pandean Nalumsari.

Dalam pertemuan resmi sebelumnya dengan tim kuasa hukum, Bupati Jepara menyatakan akan turun langsung ke lapangan pada Kamis, 18 September 2025, untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Namun, janji tersebut tak kunjung terealisasi. Puncak kekecewaan terjadi pada Selasa, 23 September 2025, ketika ajudan Bupati menyampaikan perubahan agenda: Bupati tidak akan hadir, dan hanya menugaskan Asisten 2 Setda Kabupaten Jepara untuk bertemu warga pada Kamis, 24 September 2025. Alasan yang diberikan adalah bahwa hasil pertemuan akan dilaporkan langsung ke Bupati, sebuah pendekatan yang oleh warga dianggap sebagai pengabaian terhadap dialog langsung.
“Yang ditunggu masyarakat adalah Bupati Jepara, bukan utusan. Warga sudah siap menyampaikan aspirasi secara langsung, sebagaimana janji yang pernah diucapkan beliau. Kalau hanya perwakilan, itu tidak menyelesaikan masalah,” tegas WW dalam keterangan resminya. Pernyataan ini mencerminkan frustrasi kolektif yang telah membara sejak Agustus 2025, ketika warga pertama kali mengeluhkan kurangnya sosialisasi proyek tersebut. Penolakan ini bukan hal baru; catatan sejarah menunjukkan bahwa warga Tunggul Pandean pernah melaporkan isu serupa ke kepolisian pada 2019, meskipun tanpa respons memadai.
Baca juga : Sorotan Hukum: Jaringan Korupsi CSR BI-OJK Mengguncang Elit Politik, KPK Hadapi Ujian Supremasi Hukum
Dari perspektif akademis, konflik ini menyoroti ketegangan antara kebutuhan pembangunan infrastruktur energi dan hak partisipasi masyarakat. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjamin hak masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan proyek yang berpotensi berdampak pada lingkungan mereka. Selain itu, proyek seperti gardu induk PLN sering kali dikategorikan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), yang menurut laporan Komnas HAM, kerap kali melanggar hak asasi manusia, termasuk hak atas tempat tinggal dan partisipasi. Hampir separuh dari 300 PSN di Indonesia dilaporkan telah mengabaikan hak masyarakat lokal, menciptakan konflik yang berkepanjangan.
Lebih lanjut, kekhawatiran warga terhadap dampak kesehatan dan lingkungan bukan tanpa dasar. Gardu induk bertegangan tinggi menghasilkan medan elektromagnetik (EMF) yang, menurut studi, dapat memengaruhi metabolisme hormon dan berpotensi meningkatkan risiko kesehatan jangka panjang, seperti gangguan pada wanita hamil atau peningkatan insiden kanker. Analisis risiko di gardu induk serupa menunjukkan potensi bahaya lingkungan, meskipun PLN sering menyatakan bahwa dampaknya rendah jika mengikuti standar keselamatan. Namun, kurangnya transparansi dalam proses perizinan, seperti yang dialami warga Tunggul Pandean, memperburuk ketidakpercayaan. Warga menuntut penghentian sementara proyek hingga ada kejelasan hukum, termasuk dugaan pelanggaran UU Desa oleh Kepala Desa setempat.
Warga tidak tinggal diam. Mereka telah menggandeng organisasi seperti Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWO) untuk pendampingan dan pengawalan penolakan ini. “Jika Bupati enggan hadir di desa kami, maka kami yang akan datang ke Kantor Bupati Jepara untuk menyampaikan langsung penolakan ini. Suara warga tidak bisa diabaikan,” tegas warga secara kompak. Sikap ini menandakan eskalasi potensial, di mana masyarakat siap mengambil langkah tegas untuk menegakkan hak mereka.
Konflik di Tunggul Pandean ini bukan isu lokal semata, melainkan cerminan dari tantangan nasional dalam menyeimbangkan pembangunan energi dengan demokrasi partisipatif. Tanpa dialog langsung dan transparan, proyek semacam ini berisiko memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Saat ini, warga berdiri teguh: Bupati harus hadir secara pribadi untuk mendengar suara rakyat, atau dialog tak akan dianggap sah. Implikasi jangka panjangnya bisa memengaruhi kebijakan energi di tingkat kabupaten, di mana partisipasi masyarakat menjadi kunci keberlanjutan.
Pewarta : Miftahkul Ma’na
