
RI News Portal. Padangsidimpuan, 2 Oktober 2025 – Dalam sebuah pernyataan yang mengguncang dinamika politik lokal, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bamperda) DPRD Kota Padangsidimpuan, Banua Siregar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), secara tegas menuding Pemerintah Kota (Pemko) tidak memiliki komitmen serius untuk menyelesaikan pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2025-2045. Tuduhan ini disampaikan Siregar pada Selasa (30/9/2025). Pernyataan ini didukung oleh anggota Bamperda lainnya, Andi Lumalo Harahap dari Partai Hanura dan Asbin Sitompul dari Partai NasDem, yang menegaskan bahwa kelambanan eksekutif telah merugikan peluang ekonomi kota secara nyata.
Kronologi kegagalan ini berakar pada pembahasan Ranperda RTRW yang mandek sejak diserahkan ke Bamperda pada 16 September 2025, usai rapat paripurna DPRD yang menuntut perbaikan naskah akademik. Dokumen tersebut, yang seharusnya menjadi peta jalan pembangunan jangka panjang, kini terhambat karena dinas-dinas terkait di bawah arahan Walikota Dr. H. Letnan Dalimunthe, SKM, M.Kes., gagal mengarahkan koordinasi yang efektif. “Pemko jelas tidak menginginkan RTRW ini selesai. Mereka sibuk dengan agenda lain, sementara investor menunggu kepastian lahan,” tegas Siregar, menyoroti bahwa revisi RTRW telah masuk prioritas Prolegda DPRD sejak Agustus 2025, namun eksekutif acuh tak acuh. Tuduhan ini bukan sekadar spekulasi; ia didasari pada rapat koordinasi berulang yang berujung buntu, di mana Pemko gagal menyediakan data analisis tata ruang yang komprehensif.

Dampak paling telanjang dari kelambanan ini adalah kegagalan masuknya investor PT Suriatama Mahkota Kencana (Suzuya), raksasa ritel nasional yang sempat menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) senilai Rp150 miliar pada Juni 2025. Wakil Walikota H. Harry Pahlevi Harahap, yang dikenal sebagai motor penggerak investasi, telah bersusah payah membujuk Direktur Utama Suzuya, Aldes Maryono, untuk menanamkan modal di kawasan Batunadua. “Bang Levi” –sapaan akrab Pahlevi– berhasil mendapatkan lampu hijau dari pihak Suzuya, yang bahkan siap merekrut hingga 2.000 tenaga kerja lokal, mulai dari petani UMKM sebagai pemasok hingga posisi manajerial atas. Proyek superstore ini diproyeksikan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak ritel, mengurangi angka pengangguran yang masih mengintai 7 persen di kota ini, dan merangsang perekonomian dengan ekosistem hulu-hilir yang inklusif.
Namun, MoU itu kandas di tengah jalan. Tanpa RTRW yang jelas, zonasi lahan untuk pembangunan komersial tak kunjung terbit, memaksa Suzuya menggeser rencana ke kawasan Danau Toba di kabupaten tetangga. “Suzuya sudah membuka pintu lebar-lebar untuk Padangsidimpuan, tapi eksekutif menutupnya dengan birokrasi yang tak kunjung usai,” keluh Pahlevi dalam pernyataan singkat kepada Insight Nusantara, meski ia menolak mengkritik langsung atasan. Pergeseran ini bukan hanya kehilangan investasi; ia mencerminkan ketidakmauan struktural dari pihak eksekutif, di mana prioritas bergeser ke ambisi politik pribadi. Sumber dekat Pemko mengungkapkan, Walikota Dalimunthe kian asyik mengejar posisi Ketua DPC Partai Gerindra Kota Padangsidimpuan, dengan rumor persaingan sengit melawan beberapa kader senior yang mulai terdengar sejak akhir Agustus 2025. Agenda partai ini, yang melibatkan manuver internal seperti pemilihan pengurus baru, disebut-sebut menyita waktu dan energi, meninggalkan dinas PUPR serta perencanaan wilayah tanpa arahan tegas.
Baca juga : Jalan Beton Rp 3,9 Miliar di Bergas Retak: Dugaan Korupsi Spek Kwalitas Cor dan Ancaman Hukuman
Fenomena ini kini menjadi buah bibir di kalangan warga, yang melihatnya sebagai contoh klasik “petinggi cawe-cawean” yang memprioritaskan kekuasaan atas kemakmuran rakyat. Seorang warga senior di Kelurahan Batunadua, yang enggan disebut namanya demi menghindari tekanan, berujar kepada Insight Nusantara, “Investor Suzuya kabur ke kabupaten lain gara-gara ini. Kita yang rugi, ribuan lapangan kerja hilang begitu saja, sementara pemimpin sibuk rebutan kursi partai.” Suara ini bergema di warung kopi dan grup komunitas online, di mana warga menilai bahwa tanpa RTRW, Padangsidimpuan berisiko kehilangan momentum sebagai “kota salak” yang strategis di segitiga emas Tapanuli Selatan.
Kegagalan ini menyoroti dilema klasik dalam tata kelola daerah: konflik antara kepentingan politik jangka pendek dan perencanaan pembangunan berkelanjutan. Analisis dari pakar tata ruang Universitas Graha Nusantara Padangsidimpuan, Abdul Latif Lubis, menegaskan bahwa RTRW bukan sekadar dokumen administratif, melainkan instrumen hukum mengikat yang menjamin kepastian investasi. “Tanpa itu, daerah seperti Padangsidimpuan rawan kehilangan peluang, karena investor mencari zona yang jelas untuk industri dan perdagangan,” ujar Lubis, mengutip prinsip Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. KADIN Kota Padangsidimpuan juga mendesak percepatan, menekankan bahwa keterlibatan pelaku usaha sejak awal bisa mencegah mandek seperti ini.
Di tengah hiruk-pikuk tudingan, DPRD berjanji mendorong pembahasan ulang dalam paripurna mendatang, dengan harapan eksekutif kembali fokus. Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: apakah ambisi menjadi ketua partai lebih berharga daripada ribuan pekerjaan yang lenyap? Padangsidimpuan, kota yang haus kemajuan, kini menunggu jawaban dari para pemimpinnya – bukan melalui pidato, tapi aksi nyata.
Pewarta : Indra Saputra
