
RI News Portal. Kapuas Hulu, 14 September 2025 — Di tengah ambisi pembangunan nasional yang menargetkan ketahanan pesisir, proyek perkuatan tebing dan turap di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, justru menjadi simbol kegagalan sistemik. Pada 12 September 2025, sorotan publik memuncak ketika warga setempat melaporkan bahwa proyek senilai miliaran rupiah ini gagal total, dengan kualitas bangunan yang jauh di bawah standar dan keterlambatan yang kronis. Apa yang seharusnya menjadi benteng perlindungan bagi komunitas pesisir malah berubah menjadi reruntuhan mangkrak, menimbulkan kerugian negara yang tak terhitung dan kekhawatiran mendalam akan beban tambahan pada anggaran publik. Analisis ini menyelami akar masalah dari perspektif jurnalistik akademis, dengan fokus pada kajian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta implikasi sosialnya, sambil menawarkan narasi yang lebih reflektif daripada liputan media konvensional—bukan sekadar sensasi, melainkan pemetaan sistemik untuk perubahan.
Proyek ini, yang mencakup perkuatan tebing sungai Kapuas dan pembangunan turap di kawasan pesisir, dimulai dengan harapan tinggi untuk mencegah abrasi dan banjir yang sering melanda wilayah ini. Namun, laporan lapangan pada 12 September mengungkap realitas pahit: struktur beton retak sebelum selesai, material yang tampak murahan meski anggaran mencapai Rp29 miliar untuk tahap perkuatan tebing saja, dan pekerjaan yang terhenti sejak awal tahun. Warga seperti tokoh masyarakat setempat menyuarakan kekecewaan mereka, menyebut proyek ini sebagai “pemborosan dan penyalahgunaan anggaran” yang dibiarkan begitu saja. Dugaan awal menunjuk pada ketidakprofesionalan kontraktor pelaksana, yang gagal memenuhi jadwal kontrak, sementara tim teknis konsultan supervisi dari Balai Wilayah Sungai Kalimantan I (BWSK I) Pontianak dituduh melakukan pembiaran. Alasan cuaca sering dikemukakan, tapi bukti menunjukkan kurangnya pengawasan ketat, di mana fungsi supervisi—seperti verifikasi material dan progres harian—tidak dilaksanakan dengan baik. Akibatnya, proyek yang seharusnya rampung pada akhir 2024 kini mangkrak, meninggalkan lubang anggaran yang semakin dalam.

Dari sudut kajian APBD, kegagalan ini mencerminkan ketidakefisienan alokasi dana daerah yang seharusnya menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan. Pada APBD Kapuas Hulu 2025, prioritas utama ditempatkan pada infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, dan fasilitas pesisir, dengan total alokasi mencapai ratusan miliar rupiah dari gabungan dana daerah dan pusat. Misalnya, pemerintah kabupaten telah melelang 10 proyek pembangunan dengan total Rp155 miliar, termasuk penanganan jalan Bunut Hilir senilai Rp10 miliar dan kontribusi dari Kementerian PUPR untuk penataan kawasan waterfront Siluk senilai Rp27,25 miliar. Namun, serapan anggaran semester pertama 2025 hanya mencapai level rendah, dipengaruhi oleh regulasi nasional seperti Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2024 yang memperlambat proses. Proyek turap dan tebing di Kapuas Hulu, yang bersumber dari APBD dan dana pusat, telah menyerap 85% dana meski progres fisik baru 50%, menimbulkan indikasi pembengkakan biaya dan potensi korupsi. Secara akademis, ini menunjukkan kegagalan dalam model penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting), di mana indikator keberhasilan seperti ketepatan waktu dan kualitas diabaikan demi pencairan dana cepat. Pembiaran ini tidak hanya merugikan negara secara finansial—dengan estimasi kerugian mencapai puluhan miliar akibat perbaikan ulang—tapi juga menambah beban hutang daerah, di mana keterlambatan penyelesaian berpotensi memicu penalti kontrak dan inflasi biaya material. Kajian RPJMD Kapuas Hulu 2021-2026 menekankan visi “masyarakat sejahtera dan mandiri,” tapi realitas menunjukkan ketidakselarasan antara rencana jangka panjang dan eksekusi lapangan, di mana anggaran infrastruktur yang seharusnya 59% dari total APBD nasional justru terbuang sia-sia.
Baca juga : Polres Lampung Barat Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis untuk Korban Banjir Bandang di Suoh
Kegagalan ini jauh lebih mendalam daripada kerugian fiskal, menciptakan gelombang ketidakpercayaan dan ketidakamanan di kalangan warga pesisir. Komunitas di sekitar Sungai Kapuas, yang bergantung pada akses aman ke pantai untuk mata pencaharian seperti perikanan dan pertanian, kini menghadapi risiko banjir yang lebih tinggi karena struktur pelindung yang tak kunjung selesai. Kekhawatiran ini bukan sekadar spekulasi; banjir musiman telah menyebabkan penurunan produktivitas ekonomi lokal hingga 20-30%, mirip dengan dampak sedimentasi di Teluk Benoa yang melambatkan aliran air dan merusak infrastruktur sekitar. Secara sosial, proyek mangkrak ini memperlemah rasa aman masyarakat, di mana warga merasa ditinggalkan oleh pemerintah—sebuah fenomena yang dalam kajian sosiologi pembangunan dikenal sebagai “alienasi infrastruktur,” di mana janji kemajuan justru menimbulkan ketidakadilan. Di tingkat lebih luas, ini memperburuk kesenjangan regional, dengan dana APBD yang seharusnya mendukung kesejahteraan malah dialihkan untuk perbaikan darurat, membebani generasi mendatang. Opini publik di platform sosial mencerminkan frustrasi ini: kritik terhadap pembangunan ugal-ugalan yang mengabaikan tata ruang, drainase minim, dan prioritas anggaran yang salah arah, seperti alokasi besar untuk proyek nasional sementara infrastruktur dasar daerah terabaikan. Dampaknya? Penurunan kepercayaan pada institusi, potensi konflik sosial antara warga dan kontraktor, serta migrasi paksa dari pesisir akibat ketidakpastian lingkungan.

Secara keseluruhan, kegagalan proyek di Kapuas Hulu bukanlah insiden terisolasi, melainkan gejala dari sistem pengadaan yang lemah, di mana pemilik anggaran—dalam hal ini Pemkab Kapuas Hulu—terkesan kurang maksimal dalam pengawasan. Tanggung jawab harus dibagi: kontraktor untuk ketidakmampuan teknis, konsultan supervisi untuk kelalaian fungsi, dan pemerintah daerah untuk pembiaran. Untuk membedakan diri dari media online konvensional yang sering berfokus pada headline sensasional, analisis ini menyerukan reformasi struktural: adopsi teknologi monitoring berbasis AI untuk progres proyek, audit independen sebelum pencairan dana, dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan APBD. Hanya dengan pendekatan holistik ini, proyek infrastruktur bisa benar-benar memberikan manfaat, bukan malah menjadi beban bagi negara dan masyarakat. Warga pesisir Kapuas Hulu pantas mendapatkan lebih dari janji kosong—mereka butuh aksi nyata.
Pewarta : Lisa Susanti
