RI News Portal. Bandung, 2 Desember 2025 – Pemerintah Provinsi Jawa Barat memperkenalkan pendekatan baru dalam rehabilitasi hutan kritis dengan mengintegrasikan unsur pemberdayaan ekonomi masyarakat. Program yang diberi nama “Satu Orang Satu Hektare” ini menetapkan setiap peserta bertanggung jawab atas pengelolaan satu hektare lahan gundul, dengan imbalan upah harian Rp50 ribu selama masa penanaman dan perawatan, ditambah hak kepemilikan atas hasil panen pohon yang ditanam.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan konsep ini saat kunjungan kerja di Sumedang pada Selasa (2/12). Menurutnya, skema ini dirancang untuk menjawab dua problem struktural sekaligus: kerusakan ekosistem akibat deforestasi dan tingginya angka kemiskinan di kawasan pedesaan.
“Yang kami tawarkan bukan sekadar penanaman pohon, tapi paket lengkap: lahan garapan, upah harian, dan kepastian hukum bahwa pohon yang dirawat menjadi milik perawatnya. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya menjadi tenaga kerja sementara, melainkan pemilik aset produktif jangka panjang,” ujar Dedi.

Program ini akan memulai uji coba pada kawasan kebun teh di wilayah Bandung Selatan yang mengalami degradasi serius akibat erosi dan alih fungsi lahan. Pohon-pohon produktif seperti alpukat, durian, petai, hingga jati dan sonokeling direncanakan menjadi komoditas utama, disesuaikan dengan karaktersitik agroekologi masing-masing lokasi.
Berbeda dengan skema rehabilitasi hutan sebelumnya yang lebih mengandalkan dana APBN atau hibah internasional dengan target luas tanam semata, pendekatan Jawa Barat ini menempatkan masyarakat sebagai subjek utama sekaligus penerima manfaat ekonomi langsung. Hak kepemilikan hasil panen diatur melalui sertifikat tanam yang akan diterbitkan pemerintah provinsi, sehingga peserta memiliki jaminan hukum untuk memanfaatkan atau menjual hasil kayu maupun buah di masa mendatang.
Dedi menekankan bahwa mekanisme ini juga menjadi jawaban atas kritik lama terhadap program reboisasi yang kerap gagal karena kurangnya rasa memiliki dari masyarakat lokal. “Kalau hanya ditanam lalu dibiarkan, pasti gagal. Tapi kalau yang menanam digaji dan hasilnya menjadi haknya, maka perawatan akan dilakukan secara sungguh-sungguh,” katanya.
Data Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat mencatat sekitar 184.000 hektare lahan kritis di wilayahnya pada tahun 2024, dengan sebagian besar berada di wilayah Bandung Raya, Garut, Tasikmalaya, dan Cianjur. Jika program ini berhasil, potensi penyerapan tenaga kerja diperkirakan mencapai puluhan ribu kepala keluarga, terutama dari kalangan petani gurem dan buruh tani yang selama ini bergantung pada upah harian tidak tetap.
Baca juga : Minahasa Utara: Dari Daerah “Kurang Inovatif” Menjadi Kandidat Terinovatif Nasional 2025
Langkah ini sekaligus menjadi respons terhadap meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi di Jawa Barat. Sepanjang 2025, sedikitnya 127 kejadian longsor dan banjir bandang tercatat, mayoritas dipicu oleh hilangnya tutupan lahan di bagian hulu.
Pengamat kehutanan dari Institut Teknologi Bandung, Dr. Bambang Hero Saharjo, menilai pendekatan ini memiliki potensi besar apabila diimbangi dengan penguatan kelembagaan di tingkat desa dan pengawasan ketat terhadap potensi penyalahgunaan lahan. “Memberi insentif ekonomi memang terbukti efektif dalam konservasi berbasis masyarakat di berbagai negara. Yang krusial adalah kepastian hukum dan pencegahan konversi lahan kembali ke tanaman semusim setelah masa kontrak berakhir,” ujarnya.
Pemprov Jawa Barat menargetkan 10.000 hektare lahan kritis dapat direhabilitasi melalui skema ini pada tahap awal 2026–2028, dengan anggaran kombinasi APBD, APBN, dan kerja sama sektor swasta yang tertarik pada skema carbon credit serta agroforestry komersial.
Program “Satu Orang Satu Hektare” ini mencerminkan pergeseran paradigma pengelolaan lingkungan di Indonesia: dari pendekatan konservasi murni menuju model konservasi yang berkeadilan sosial, di mana pemulihan ekosistem dan pengentasan kemiskinan berjalan dalam satu tarikan napas.
Pewarta : Vie

