
RI News Portal. Wonogiri, 6 Agustus 2025 – Di tengah tantangan perubahan iklim dan keterbatasan sumber daya air, Desa Jatisari, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, mempelopori uji coba budidaya kentang udara (Dioscorea bulbifera), tanaman hortikultura yang relatif asing bagi masyarakat setempat. Tanaman ini, dikenal juga sebagai “air potato” atau kentang gantung, menawarkan potensi sebagai komoditas alternatif yang tahan kekeringan dan mudah dirawat, sejalan dengan mandat pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Uji coba ini tidak hanya menandai introduksi pertama spesies tersebut di Kabupaten Wonogiri tetapi juga mencerminkan pendekatan inovatif dalam agronomi pedesaan untuk mendiversifikasi produksi pertanian.
Kentang udara, yang secara ilmiah diklasifikasikan sebagai Dioscorea bulbifera, merupakan tanaman umbi-umbian tropis yang menghasilkan bulbils (umbi udara) di atas tanah, berbeda dari kentang konvensional yang tumbuh di bawah tanah. Spesies ini banyak ditemukan di hutan tropis Asia dan Afrika, dengan potensi besar sebagai pangan alternatif karena kandungan nutrisinya yang tinggi, termasuk serat, inulin, dan antioksidan yang mendukung kesehatan pencernaan dan pencegahan penyakit kronis. Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama lokal seperti gembolo atau kentang hutan, dan penelitian menunjukkan bahwa ia dapat dikembangkan dengan minim input air—cukup satu kali penyiraman setiap dua hingga tiga hari—sehingga cocok untuk wilayah semi-kering seperti Wonogiri. Namun, habitat alaminya yang jarang ditemui di daerah pegunungan Wonogiri membuatnya masih terasa asing bagi petani lokal, meskipun uji coba awal menunjukkan adaptasi yang baik terhadap kondisi tanah setempat.

Kepala Desa (Kades) Jatisari, Teguh Subroto, yang dikenal sebagai “kades petani milenial” setelah menjabat tiga periode berturut-turut, memimpin inisiatif ini melalui pemanfaatan lahan sawah bengkok milik desa. Saat ditemui di kantornya, Teguh menjelaskan, “Ini merupakan uji coba pertama dan satu-satunya di Kabupaten Wonogiri. Kami yakin komoditas ini akan berkembang seiring program ketahanan pangan, dengan hasil yang memuaskan dari panen awal.” Ia menambahkan bahwa untuk tahun ini, produksi belum dipasarkan secara komersial karena prioritas pada pengembangan bibit untuk ekspansi program. Tanaman ini, menurutnya, tidak hanya tahan kekeringan tetapi juga serbaguna: bisa dikonsumsi sebagai sayur saat masih hijau, diolah menjadi keripik, atau dijadikan tepung untuk varian makanan olahan yang berpotensi diminati pasar.
Pendekatan Teguh Subroto mencerminkan komitmen jangka panjang terhadap agronomi berkelanjutan. Sejak sebelum menjabat, ia telah aktif dalam berbagai program pertanian, termasuk ternak kambing, penanaman jagung, hortikultura, dan budidaya semangka. Melalui alokasi 20% dana desa, ia mendirikan greenhouse di setiap Rukun Tetangga (RT) yang dikelola secara kolektif oleh warga, memastikan partisipasi masyarakat dalam rantai produksi. “Meski pernah mengalami kegagalan, saya terus memberikan edukasi agar pertanian desa tetap maju,” ujarnya. Inisiatif ini sejalan dengan penelitian yang menekankan peran tanaman underutilized seperti Dioscorea spp. dalam diversifikasi pangan untuk mengatasi ketergantungan pada tanaman utama seperti padi dan jagung.
Baca juga : Kebocoran Informasi Hambat Razia Minuman Keras Ilegal di Kota Bekasi
Desa Jatisari, dengan luas wilayah 260,11 hektar yang terbagi menjadi 31 RT, 4 RW, dan 4 dusun, mayoritas dihuni oleh petani dan wiraswasta, dengan sebagian kecil sebagai pegawai pemerintah atau swasta. Potensi agronominya telah diakui secara nasional, terbukti dari kunjungan Menteri Pertanian dan Presiden Joko Widodo pada 15 Februari 2020, yang menyoroti model ketahanan pangan desa ini. Selain itu, desa ini telah mengembangkan wisata edukasi pertanian seperti Jatisari Edu Park, yang terinspirasi dari komoditas seperti porang, dan kini berpotensi diperluas dengan kentang udara.
Secara akademis, pengenalan Dioscorea bulbifera di Jatisari dapat menjadi studi kasus bagi pengembangan tanaman neglected and underutilized species (NUS) di Indonesia. Tanaman ini tidak hanya menyediakan sumber karbohidrat alternatif dengan nilai gizi tinggi—seperti kandungan inulin yang mendukung pertumbuhan bakteri baik di usus—tetapi juga memiliki aplikasi sebagai biopestisida berkat senyawa sekunder seperti alkaloid dan flavonoid. Di tengah ancaman krisis pangan global, inisiatif seperti ini menunjukkan bagaimana inovasi lokal dapat berkontribusi pada tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 2 (Zero Hunger) dan SDG 13 (Climate Action).
Meski masih dalam tahap uji coba, proyek ini diharapkan mendorong adopsi lebih luas di Kecamatan Jatisrono, dengan potensi ekspor olahan yang meningkatkan pendapatan petani. Teguh Subroto optimistis: “Kentang udara ini unik dan fleksibel, bisa menjadi andalan baru bagi desa kami.” Dengan dukungan kebijakan pemerintah dan penelitian lanjutan, Desa Jatisari berpotensi menjadi model nasional untuk agronomi adaptif di era ketidakpastian iklim.
Pewarta : Nandar Suyadi
