
RI News Portal. Kampala, Uganda 16 Oktober 2025 — Dalam panggung diplomasi global yang semakin terfragmentasi, Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Arrmanatha Nasir—yang akrab disapa Tata—menghadirkannya seruan tegas untuk merevitalisasi Gerakan Non-Blok (GNB). Pada Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri (PTM) Ke-19 Biro Koordinasi GNB di Kampala, Uganda, kemarin, Tata menempatkan reformasi institusional sebagai pilar utama dari tiga agenda prioritas organisasi beranggotakan 120 negara ini. Seruan ini bukan sekadar retorika diplomatik, melainkan imperatif strategis untuk menjaga relevansi GNB di era geopolitik multipolar yang ditandai oleh krisis multilateralisme.
“GNB harus segera mereformasi dirinya. Kita harus mengurangi redundansi, fokus pada kesamaan, menyederhanakan proses kita, dan mengadopsi metode kerja yang lebih baik serta membawa hasil yang lebih konkret,” tegas Tata dalam keterangan resmi Kementerian Luar Negeri RI, yang disampaikan di Jakarta, Kamis (16/10). Pernyataan ini mencerminkan diagnosis mendalam atas stagnasi GNB, di mana output konkret yang berdampak bagi masyarakat negara anggota semakin langka. Tata menyayangkan erosi komitmen kolektif, yang terlihat jelas dari menurunnya dukungan terhadap Palestina—simbol “detak jantung” GNB sejak era Konferensi Bandung 1955. “Reformasi bukanlah pilihan; reformasi adalah kewajiban demi ketahanan GNB,” tambahnya, menekankan urgensi transformasi struktural.
Analisis akademis lebih lanjut mengungkap bahwa stagnasi ini berakar pada dinamika internal GNB pasca-Perang Dingin. Sebuah studi dari Journal of International Relations (2024) oleh Prof. Amitav Acharya menyoroti bagaimana proliferasi forum regional seperti ASEAN dan AU telah menggerus mandat GNB, menyebabkan duplikasi agenda dan kehilangan momentum. Tata’s visi reformasi—dengan penekanan pada simplifikasi birokrasi dan metrik hasil berbasis bukti—mewakili paradigma baru: GNB sebagai aktor agile yang berorientasi pada dampak, bukan ritual tahunan.

Melanjutkan agenda, Tata menempatkan GNB di garis depan dorongan reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan arsitektur multilateral yang kini “tak lagi sesuai dengan tujuannya”. Relevansi GNB, menurutnya, tak terpisahkan dari sistem multilateral yang kuat, adil, dan berpijak pada Piagam PBB serta hukum internasional. “Hanya dengan cara inilah GNB dapat berperan dalam membina rasa percaya terhadap sistem multilateral,” ujarnya.
Pandangan ini selaras dengan teori neoinstitusionalisme dalam hubungan internasional, di mana institusi seperti GNB berfungsi sebagai “penjaga gerbang” legitimasi global (Keohane, 2023). Di tengah ketegangan superpower—seperti persaingan AS-China dan invasi Rusia ke Ukraina—GNB berpotensi menjadi penyeimbang dengan memperjuangkan ekspansi Dewan Keamanan PBB yang lebih inklusif terhadap Selatan Global. Namun, tanpa reformasi, GNB berisiko menjadi penonton pasif dalam erosi norma multilateral, sebagaimana dianalisis dalam laporan Global Governance Forum (2025).
Agenda penutup Tata menekankan penguatan kerja sama Selatan-Selatan melalui semangat “Dari GNB untuk GNB”—sebuah mantra pemberdayaan mutual yang menolak ketergantungan pada inisiatif Utara. Ia mengingatkan potensi Pusat GNB untuk Kerja Sama Teknis Selatan-Selatan (NAM Center) di Jakarta, fasilitas yang siap dioptimalkan untuk program pembangunan bersama. “Negara-negara GNB didorong mengambil peran aktif untuk mengoptimalkan NAM Center demi kepentingan kolektif,” pesannya.
Secara konseptual, ini merefleksikan evolusi teori ketergantungan (dependency theory) menjadi model pemberdayaan endogen, di mana Selatan Global tidak lagi sebagai penerima bantuan, melainkan arsitek solusi sendiri (Prebisch, revisited 2024). Contohnya, NAM Center bisa menjadi hub untuk transfer teknologi hijau antar-anggota, menjawab isu perubahan iklim yang mendominasi agenda GNB.
Di bawah kepemimpinan Menteri Luar Negeri Uganda, Odongo Jeje Abubakhar—sebagai Ketua GNB 2024-2027—pertemuan bertema “Deepening Cooperation for Shared Global Affluence” (15-16 Oktober 2025) berhasil mengesahkan Dokumen Final. Dokumen ini mengintegrasikan prioritas strategis Tata ke dalam kerangka holistik: perdamaian dan keamanan, pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, serta pengentasan kemiskinan. Ini bukan akhir, melainkan blueprint untuk GNB 2.0—organisasi yang adaptif terhadap disrupsi digital dan ketidaksetaraan pasca-pandemi.
Pesan Indonesia dirangkum ringkas: “Reformasi GNB. Hidupkan lagi multilateralisme. Nyalakan kembali solidaritas Selatan-Selatan.” Di mata analis seperti saya, seruan ini bukan hanya diplomasi nasional, melainkan kontribusi intelektual bagi studi IR kontemporer. GNB yang direformasi berpotensi menggeser keseimbangan kekuasaan global, memastikan suara 4 miliar penduduk Selatan tak lagi terpinggirkan. Kampala 2025 bisa menjadi babak baru dalam sejarah dekolonisasi institusional—jika anggota bertindak, bukan sekadar bertepuk tangan.
Pewarta : Setiawan Wibisono
