
RI News Portal. Jakarta, 2 Oktober 2025 – Di bawah langit mendung Kuningan Persada yang biasanya tenang, suara ratusan demonstran bergema seperti guntur yang tertahan, menantang fondasi lembaga anti-korupsi terakhir di negeri ini. Hari ini, Kamis pagi, Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diserbu oleh kelompok massa yang terafiliasi dengan Gerakan Lintas Aliansi Adili Koruptor (Gladiator), sebuah koalisi lintas elemen masyarakat yang mengklaim mewakili “suara anak bangsa yang muak dengan dinasti korup”. Mereka tak datang dengan tangan kosong: spanduk berwarna merah darah bertuliskan “Tangkap Jokowi! Adili Secepatnya!” bergantung di jembatan penyeberangan orang (JPO), sementara orator-orator bergantian naik ke atas mobil komando, menusuk udara dengan kata-kata pedas yang menuntut penangkapan dan pengadilan mantan Presiden Joko Widodo.
Aksi ini, yang dijadwalkan pukul 13.00 WIB hingga selesai, bukan sekadar unjuk rasa biasa. Ia merupakan puncak dari gelombang protes yang telah menggelora sejak Februari lalu, ketika aksi vandalisme “Adili Jokowi” pertama kali mencuat di berbagai kota seperti Solo dan Jakarta. Gladiator, yang mengumpulkan lebih dari 50 aliansi termasuk Forum Purnawirawan Prajurit TNI, bukanlah aktor baru di panggung politik pasca-Jokowi. Mereka menuding era kepemimpinan Presiden ke-7 RI itu sebagai “kerusakan masif terhadap NKRI”, merujuk pada dugaan intervensi politik dalam pemilu 2024, nepotisme keluarga, dan skandal korupsi infrastruktur yang kini menjadi warisan beracun bagi pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto.
Fachrur Razi, mantan Wakil Panglima TNI yang kini menjadi ikon bagi para purnawirawan yang kecewa, menjadi pusat perhatian. Dengan suara tegas yang bergema dari mikrofon, pria berusia 70-an itu tak segan menyerang langsung: “Kita sama-sama minta supaya diambil langkah-langkah tangkap dan adili Jokowi.” Kata-katanya, disambut sorak-sorai massa, seolah menjadi katalisator bagi keraguan yang selama ini membelenggu KPK. Namun, Fachrur tak menyentuh akar persoalan hukum—dasar konkret untuk pengadilan. “Bukti-buktinya apa? Waduh, saya rasa bukti-buktinya banyak. Tinggal bagaimana KPK, kalau KPK tidak berani kita heran juga,” lanjutnya, sambil menatap tajam ke arah gedung KPK yang dijaga barisan polisi berhelm anti-huru-hara.

Nada provokatif itu berlanjut dengan ultimatum yang lebih pedas: “Saya yakin anak-anak anda, cucu anda juga bakal malu. Kalau tidak berani, tidak usah jadi KPK.” Fachrur, yang dikenal sebagai tokoh militer era reformasi, seolah mengingatkan lembaga itu pada akar mandatnya—bukan sebagai alat politik, tapi benteng terakhir melawan korupsi. “Pak Jokowi tidak usah takut kalau memang tidak salah. Tapi, saya yakin banyak salahnya,” tegasnya, memicu gelombang tepuk tangan yang membuat getaran terasa hingga ke trotoar Kuningan.
Pantauan langsung di lapangan mengungkap dinamika yang lebih kompleks. Massa, yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan pensiunan militer, tak hanya berorasi; mereka membentangkan poster digital di ponsel, menampilkan timeline dugaan pelanggaran Jokowi—from alleged election meddling hingga kasus korupsi timah yang menjerat menteri-menterinya. Ini berbeda dari demo-demo era Jokowi dulu, seperti aksi BEM SI 2021 yang menolak UU KPK atau gelombang Ciptaker 2020. Saat itu, tuntutan lebih pada reformasi lembaga; kini, sasaran langsung adalah figur sentral yang baru saja meninggalkan kursi riil. “Kami bukan lagi menentang kebijakan, tapi menuntut keadilan atas warisan yang meracuni generasi kami,” ujar seorang mahasiswi Universitas Indonesia yang enggan disebut namanya, sambil memegang spanduk “Gladiator Bersatu: No Mercy for Corruption”.
Dari perspektif akademis, aksi ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang transisi demokrasi Indonesia. Dr. Andi Wijaya, pakar politik Universitas Gadjah Mada, dalam wawancara singkat via telepon, menyebutnya sebagai “efek boomerang Jokowi”. “Era Jokowi berhasil membangun infrastruktur, tapi di sisi lain, ia meninggalkan polarisasi yang ekstrem. Demo seperti ini bisa menjadi katalisator bagi KPK untuk bangkit, atau justru senjata makan tuan jika pemerintah baru merespons represif,” katanya. Wijaya merujuk pada studi kasus serupa di Amerika Latin, di mana tuntutan pengadilan mantan pemimpin sering memicu krisis institusional. “Jika KPK bertindak, itu ujian kredibilitas; jika diam, risikonya adalah erosi kepercayaan publik yang lebih dalam,” tambahnya, mengingatkan bahwa survei terbaru LSI menunjukkan tingkat kepercayaan pada KPK hanya 45 persen pasca-revisi UU 2019.
Baca juga : Kemenkeu dan DPR Sepakati Kenaikan Anggaran TKD 2026 Jadi Rp693 Triliun
Sementara itu, aparat kepolisian dari Polda Metro Jaya dikerahkan secara masif, membentuk barikade ganda di sekitar gedung. Hingga pukul 15.00 WIB, aksi berlangsung kondusif—tak ada laporan bentrokan fisik, meski ketegangan terasa di udara. Seorang perwira polisi senior, yang meminta anonimitas, mengakui: “Kami siap jaga aman, tapi ini bukan soal kekerasan; ini soal dialog. Rakyat punya hak, tapi institusi juga punya prosedur.” Di media sosial, hashtag #GerudukKPKAdiliJokowi meledak, dengan ribuan postingan yang menyebar video orasi Fachrur dan spanduk-spanduk provokatif, mempercepat penyebaran narasi anti-Jokowi.
Apa implikasi jangka panjang? Bagi para pengamat, aksi ini bisa menjadi titik balik—orang banyak yang melihatnya sebagai ujian bagi pemerintahan Prabowo, yang selama kampanye berjanji membersihkan korupsi. Jika KPK tak merespons, gelombang protes bisa meluas ke daerah, mengikuti pola demo “Indonesia Gelap” Februari lalu. Sebaliknya, jika ada langkah hukum, itu berpotensi membuka kotak Pandora kasus-kasus lama yang selama ini terpendam. Yang jelas, suara dari Kuningan hari ini bukan hanya tuntutan; ia adalah jeritan demokrasi yang haus keadilan, menggema di tengah transisi yang rapuh.
Hingga berita ini diturunkan, aksi masih berlangsung. Gladiator mengancam akan mengulang demo jika tak ada respons konkret dari KPK dalam 48 jam. Di saat seperti ini, pertanyaan mendasar kembali bergaung: Apakah lembaga anti-korupsi kita siap menghadapi badai yang diciptakan oleh pemimpin yang pernah mereka lindungi? Waktu akan menjawab—tapi rakyat, seperti biasa, tak mau lagi menunggu lama.
Pewarta : Yudha Purnama
