RI News Portal. Jakarta, 28 November 2025 – Dalam perkembangan terbaru kasus dugaan pencemaran nama baik terkait tuduhan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo, Polda Metro Jaya bersiap menggelar perkara khusus yang diminta oleh tiga tersangka utama. Langkah ini tidak hanya menjadi ujian bagi proses hukum yang transparan, tetapi juga menyoroti ketegangan antara hak pembelaan tersangka dan tuntutan keadilan publik di tengah polarisasi informasi digital.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Budi Hermanto, menyatakan bahwa permintaan gelar perkara khusus dari Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma telah memasuki tahap koordinasi akhir. “Penyidik sedang berkoordinasi intensif dengan Pengawasan Penyidikan untuk menentukan jadwal pelaksanaan. Ini merupakan hak tersangka yang harus diakomodasi demi menjaga prinsip due process,” ujar Budi saat ditemui di Markas Polda Metro Jaya, Jumat kemarin. Ia menekankan bahwa sesi ini akan melibatkan analisis mendalam atas bukti-bukti awal, termasuk dokumen digital dan saksi kunci, sebelum melanjutkan ke pemeriksaan lebih lanjut.
Permintaan ini muncul sebagai respons atas penetapan delapan tersangka pada awal November lalu, yang dibagi menjadi dua klaster oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Asep Edi Suheri. Klaster pertama mencakup lima individu yang diduga terlibat dalam penyebaran awal tuduhan, sementara klaster kedua—yang menjadi fokus gelar perkara—melibatkan Roy Suryo, pakar telematika dan mantan menteri; Rismon Hasiholan Sianipar, ahli forensik digital; serta Tifauzia Tyassuma, aktivis kesehatan yang dikenal vokal di ruang publik. Mereka ditetapkan berdasarkan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, serta Pasal 27A jo Pasal 45 Ayat 4 UU ITE terkait manipulasi data elektronik.

Roy Suryo, yang memimpin pengajuan ini, menjelaskan motivasinya sebagai upaya untuk “membuka tabir kebenaran secara ilmiah.” Dalam pernyataan singkatnya pada 20 November, ia menyatakan bahwa kunjungan ke Polda Metro Jaya bertujuan menindaklanjuti pemeriksaan awal dan mengusulkan panel ahli multidisiplin. “Kami ajukan ahli IT untuk verifikasi digital, linguistik untuk analisis teks, serta pakar hukum pidana yang memahami kerangka undang-undang. Ini bukan sekadar pembelaan, tapi komitmen agar kasus ini terang benderang bagi semua pihak,” tegasnya. Timnya bahkan telah menyiapkan 11 saksi meringankan, termasuk mantan rekan akademik yang bisa memberikan konteks historis tentang proses verifikasi ijazah di era 1980-an.
Langkah ini datang di tengah perdebatan yang lebih luas tentang integritas proses hukum di Indonesia, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan figur publik. Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Hikmahanto Juwana, menilai gelar perkara khusus sebagai instrumen krusial untuk mencegah bias penyidikan. “Dalam konteks tuduhan ijazah palsu yang bermula dari laporan Jokowi pada April 2025, mekanisme ini memastikan bahwa bukti tidak hanya bersifat subyektif, tapi didukung analisis forensik independen. Namun, tantangannya adalah menjaga netralitas ahli di tengah tekanan opini publik,” katanya. Menurutnya, kasus serupa di masa lalu, seperti kontroversi dokumen politik, sering kali terhambat oleh kurangnya transparansi, yang justru memperburuk polarisasi sosial.
Baca juga : Polda Metro Jaya Dalami Kemungkinan Pelaku Lain dalam Kasus Pembunuhan Alvaro Kiano Nugroho (6)
Sementara itu, Rismon Hasiholan Sianipar menambahkan dimensi teknis dalam pengajuannya. Sebagai forensik digital, ia menyoroti potensi ketidaksesuaian pada elemen-elemen ijazah yang beredar, seperti watermark dan emboss kertas yang tidak identik dengan standar Universitas Gadjah Mada tahun 1985. “Kami butuh akses fisik untuk perbandingan langsung. Jika ditolak, itu bisa diinterpretasikan sebagai upaya menyembunyikan fakta,” ungkapnya, merujuk pada perbandingan dengan ijazah alumni lain dari periode serupa. Tifauzia Tyassuma, yang dikenal sebagai Dokter Tifa, melengkapi argumen dengan perspektif etika publik: “Kasus ini bukan hanya soal satu orang, tapi soal kepercayaan rakyat terhadap institusi pendidikan dan kepemimpinan.”
Penyidik Polda Metro Jaya telah memeriksa lebih dari 130 saksi dan ratusan barang bukti sejak kasus naik ke tahap penyidikan. Setelah gelar perkara, agenda selanjutnya mencakup pemeriksaan saksi dan ahli dari kedua belah pihak, diikuti interogasi terhadap lima tersangka klaster pertama yang dijadwalkan dalam waktu dekat. Budi Hermanto menjamin proses ini akan berjalan profesional, dengan pengawasan internal dari Itwasda untuk menghindari penyimpangan. “Kami komitmen pada keseimbangan antara penegakan hukum dan hak asasi manusia,” pungkasnya.
Kasus ini, yang mencuat dari tuduhan viral di ruang digital, terus menjadi cerminan dinamika informasi di era pasca-kebenaran. Dengan gelar perkara khusus sebagai titik balik, publik kini menanti apakah langkah ini akan membawa kejelasan atau justru memperpanjang saga kontroversi yang telah membelah opini nasional. Hingga kini, tidak ada pernyataan resmi dari pihak Jokowi atau Universitas Gadjah Mada terkait perkembangan terbaru ini.
Pewarta : Albertus Parikesit

