
RI News Portal. Banda Aceh, 1 Oktober 2025 – Di tengah dinamika pemerintahan modern Indonesia, Gampong tetap berdiri sebagai pilar terendah dalam struktur administratif negara. Sebagai kesatuan masyarakat hukum terkecil, Gampong bukan hanya entitas administratif, melainkan wadah hidup bermasyarakat yang kaya akan nilai otonomi dan tradisi. Dipimpin oleh seorang Keuchik, Gampong memiliki mandat untuk mengatur urusan internalnya sendiri, mencerminkan prinsip desentralisasi yang diakui secara konstitusional.
Menurut data dari situs resmi Pemerintah Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan fondasi otonomi bagi Gampong. Kewenangan ini memungkinkan pengelolaan urusan lokal secara mandiri, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga penguatan budaya masyarakat. Namun, dalam praktiknya, batas-batas kewenangan ini sering kali kabur, memerlukan penegasan lebih lanjut melalui regulasi dan implementasi yang lebih tegas. Para ahli pemerintahan lokal menilai bahwa ketidakjelasan ini bisa menjadi penghambat dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti urbanisasi dan perubahan iklim.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 18, Gampong diberi ruang luas untuk mengelola empat pilar utama: penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan warga. Semua ini harus berlandaskan pada adat istiadat, hak asal-usul, dan inisiatif masyarakat setempat. Pendekatan ini tidak hanya administratif, tapi juga holistik, mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah turun-temurun diwariskan di Aceh.

Salah satu manifestasi unik dari kearifan tersebut adalah konsep Pageu Gampong, sebuah sistem proteksi sosial yang dirancang untuk mempertahankan harmoni kehidupan bersama. Pageu Gampong menekankan rasa kebersamaan dan tanggung jawab kolektif dalam menghadapi persoalan sehari-hari. Dalam konteks sosial-budaya Aceh, sistem ini berperan sebagai jaring pengaman yang mencegah eskalasi konflik, sekaligus mempromosikan solidaritas antarwarga.
Fungsi Pageu Gampong terbagi menjadi dua bentuk utama: preventif dan represif. Secara preventif, ia berupaya mencegah timbulnya masalah melalui edukasi dan penguatan norma sosial. Sementara itu, bentuk represif fokus pada penyelesaian perselisihan secara damai dan adil, menghindari jalur litigasi formal yang sering kali memakan waktu dan biaya. Pendekatan ini selaras dengan semangat restorative justice, di mana pemulihan hubungan menjadi prioritas utama.
Penyelesaian konflik dalam Pageu Gampong dijalankan melalui Peradilan Adat Gampong, sebuah mekanisme yang melibatkan aktor-aktor kunci masyarakat. Keuchik bertindak sebagai ketua sidang, didukung oleh Tuha Peuet (dewan adat) dan ulama sebagai anggota majelis, serta sekretaris gampong yang menangani administrasi. Peran Ulee Jurong juga krusial sebagai penerima laporan awal, memastikan proses dimulai dari tingkat paling dasar. Struktur ini mencerminkan kolaborasi antara kepemimpinan formal dan informal, yang membuatnya lebih adaptif terhadap dinamika lokal.
Jenis sengketa yang ditangani oleh peradilan adat ini diatur secara rinci dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, terutama pada Pasal 13 hingga 15. Fokus utamanya adalah konflik ringan seperti pertikaian antarwarga, sengketa batas tanah, atau masalah rumah tangga. Dengan demikian, Gampong menjadi arena pertama dan utama untuk mediasi, mengurangi beban sistem peradilan negara yang sering kali overload.
Penguatan mekanisme ini semakin solid melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani pada 20 Desember 2011 oleh Gubernur Aceh, Kapolda, dan Majelis Adat Aceh. SKB tersebut kemudian dioperasionalkan lewat Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013, yang memberikan landasan hukum lebih kuat bagi integrasi antara adat dan peraturan negara. Inisiatif ini menunjukkan bagaimana Aceh berhasil menyinergikan elemen tradisional dengan kerangka hukum modern, menjadi model bagi daerah lain di Indonesia.
Di era digital dan globalisasi saat ini, Gampong di Aceh tetap relevan sebagai benteng terakhir dalam penyelesaian konflik masyarakat. Kearifan lokal seperti Pageu Gampong membuktikan bahwa solusi berbasis komunitas tidak hanya efektif, tapi juga berkelanjutan. Namun, tantangan ke depan adalah memastikan generasi muda terlibat aktif, agar nilai-nilai ini tidak pudar di tengah arus modernisasi. Para pakar antropologi menekankan perlunya pendidikan berbasis adat untuk mempertahankan esensi Gampong sebagai pondasi masyarakat Aceh yang tangguh.
Pewarta : Jaulim Saran
