
RI News Portal. Denpasar, 29 September 2025 – Dalam langkah tegas yang menandai intervensi legislatif tingkat provinsi, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali mengumumkan pengambilalihan langsung atas polemik penutupan akses jalan warga Banjar Giri Dharma, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, oleh manajemen Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park. Rekomendasi Komisi I DPRD yang menargetkan pembongkaran tembok pembatas hingga tengah malam Senin (29/9/2025) tampaknya diabaikan, memicu respons cepat dari pimpinan dewan untuk mencegah eskalasi konflik yang berpotensi merusak harmoni sosial di kawasan pariwisata ikonik Pulau Dewata ini.
Ketua DPRD Provinsi Bali, I Dewa Made Mahayadnya—yang akrab disapa Dewa Jack—menegaskan komitmen lembaga legislatif untuk menegakkan prinsip fungsi sosial tanah, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. “Jika hingga pukul 12 malam tembok itu belum dibongkar secara sukarela oleh manajemen GWK, saya akan segera menandatangani surat rekomendasi eksekutif pada Selasa (30/9). Surat itu memberi mandat penuh kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan pemerintah daerah untuk bertindak sebagai eksekutor pembongkaran, dengan tembusan ke Pemerintah Kabupaten Badung sebagai pemangku wilayah,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin sore.
Dewa Jack, politisi senior dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menyoroti sikap manajemen GWK yang dinilai kurang kooperatif. Meski surat-surat resmi dari GWK kerap masuk ke meja DPRD, utusan langsung dari pimpinan atau pemilik perusahaan tak pernah muncul. “Kami masih tunggu niat baik mereka untuk audiensi langsung. Surat doang banyak, tapi orangnya tak pernah nongol. Sebagai orang Bali yang terpilih oleh rakyat Bali, saya ingin kenal dong siapa di balik GWK ini. Hingga kini, hanya utusan-utusan saja yang datang,” tambahnya dengan nada prihatin, menggarisbawahi ketidakpercayaan yang kian menumpuk.

Langkah selanjutnya, menurut Dewa Jack, melibatkan Rapat Pimpinan (Rapim) yang direncanakan Selasa atau Rabu pekan ini, dihadiri seluruh pimpinan fraksi DPRD Bali. Pasca-rapim, pimpinan dewan berencana turun langsung ke lokasi untuk verifikasi lapangan, termasuk pemeriksaan izin operasional GWK. “Kami jalankan mekanisme lembaga secara prosedural, tak grasa-grusu. Tapi opsi penutupan sementara operasional GWK tetap terbuka jika pelanggaran terbukti sistematis. Ini bukan ancaman, tapi penegakan hukum demi kepentingan rakyat Bali,” tegasnya.
Polemik ini berawal dari pengaduan warga Banjar Giri Dharma yang diterima DPRD Bali pada 26 Juli 2025, menyoroti penutupan akses jalan yang telah berlangsung sejak September 2024. Jalan tersebut, yang sudah diaspal oleh Pemkab Badung setelah dihibahkan untuk kepentingan publik, menjadi korban pembangunan tembok perimeter GWK—diduga untuk keamanan aset. Akibatnya, sekitar 600 jiwa terisolasi, terpaksa mencari jalur alternatif melalui semak belukar atau lahan tetangga, menyulitkan aktivitas sehari-hari seperti membawa persembahan adat (banten) atau mobilitas anak-anak sekolah.
Komisi I DPRD Bali, di bawah kepemimpinan I Nyoman Budiutama, merespons dengan serangkaian upaya dialog. Rapat pertama dijadwalkan 25 Agustus 2025, tapi ditunda oleh GWK. Undangan kedua pada 18 September 2025 di Balai Banjar Giri Dharma Ungasan pun diboikot. Puncaknya, Rapat Kerja (Raker) pada 22 September 2025—hadir warga, kuasa hukum GWK, serta perwakilan OPD seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) Badung dan Bali—mengungkap pelanggaran konkret. GWK terbukti melanggar janji awal untuk memprioritaskan kepentingan warga sekitar, serta status hibah tanah untuk akses jalan.
Baca juga : Desa Kebong Dicanangkan sebagai Desa Sadar Kerukunan Umat Beragama
Lebih lanjut, penutupan ini bertentangan dengan kerangka hukum nasional. Pasal 43 huruf a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah secara tegas melarang pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) mengurung atau menutup bidang tanah dari lalu lintas umum, akses publik, maupun jalan air. Sementara itu, Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa setiap hak atas tanah membawa fungsi sosial, yang tak boleh dikorbankan demi kepentingan pribadi. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi juga potensi pengkhianatan terhadap hak asasi manusia (HAM) warga atas kebebasan bergerak dan mobilitas dasar,” papar Budiutama, merujuk pengaduan viral di media sosial yang menggambarkan warga “terjebak di balik tembok” seperti tahanan.
Budiutama menambahkan, rekomendasi pembongkaran dengan batas waktu satu minggu—berakhir hari ini—dikeluarkan atas usulan anggota komisi. “Sayangnya, dari pantauan medsos, GWK tak bergeming. Ini diabaikan mentah-mentah, padahal BPN sudah konfirmasi lahan itu badan jalan milik publik.”
Anggota Komisi I DPRD Bali, I Made Supartha, tak hanya menyoroti pelanggaran janji, tapi juga unsur pembangkangan terhadap tata tertib dewan. “GWK dipanggil berulang kali, tapi tak kooperatif. Ini pelanggaran serius terhadap prosedur DPRD. Kita bisa terapkan upaya paksa, termasuk pidana berdasarkan Pasal 192 KUHP dan UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009—ancamannya penjara hingga 15 tahun jika membahayakan keselamatan umum,” katanya tegas.

Supartha, yang juga Ketua Pansus Tata Ruang dan Bangunan DPRD Bali, mendesak evaluasi komprehensif terhadap seluruh izin dan aset GWK. “Rawan konflik serupa di sekitar kawasan. Saya sarankan langkah persuasif dulu, tapi jika perlu, libatkan aparat penegak hukum untuk penutupan sementara operasional. Ini demi Bali dan rakyatnya—jangan sampai ikon budaya jadi sumber disintegrasi sosial.” Ia menekankan, penutupan akses tanpa alternatif memadai tak hanya langgar regulasi agraria, tapi juga Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008, yang mewajibkan transparansi akses publik.
Sementara itu, Bendesa Adat Ungasan I Wayan Disel Astawa—juga Wakil Ketua DPRD Bali—mengkritik konsep GWK sebagai pariwisata budaya yang ironisnya mengisolasi warga adat. “Di balik gemerlap patung Garuda Wisnu Kencana, warga Ungasan harus berjuang lewat semak. Ini bertentangan dengan Tri Hita Karana—harmoni manusia, alam, dan Tuhan. Kami harap pimpinan DPRD segera turun tangan.”
Manajemen GWK, melalui kuasa hukumnya, menyatakan menyayangkan rekomendasi DPRD dan mengklaim tanah tembok sudah legal, meski masih menunggu arahan pusat dari PT Alam Sutera Realty Tbk. Namun, respons ini dinilai terlambat, apalagi setelah pemasangan CCTV yang justru menambah ketegangan dengan memantau rumah warga terisolasi.

Konflik ini bukan hanya soal tembok, tapi cerminan ketegangan antara pembangunan pariwisata dan hak masyarakat adat di Bali. Sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2018, GWK telah jadi magnet wisatawan, tapi megaproyek ini kerap didera polemik—dari krisis moneter 1998 hingga isu lingkungan. Penutupan akses kini berpotensi picu tuntutan HAM, dengan warga mengeluhkan isolasi yang memicu stres dan hambatan ekonomi, seperti kesulitan akses pasar atau layanan kesehatan.
Dengan pengambilalihan pimpinan DPRD, harapan muncul untuk resolusi cepat. Namun, pakar hukum agraria dari Universitas Udayana, Dr. I Nyoman Nuarta, S.H., M.H., memperingatkan: “Kasus ini uji coba penegakan PP 18/2021 di lapangan. Jika GWK tak patuh, presedennya bisa buka pintu tuntutan serupa di destinasi lain. Bali butuh model pariwisata inklusif, bukan eksklusif.”
Saat matahari terbenam di Ungasan Senin ini, tembok GWK tetap berdiri kokoh, tapi jam pengundur waktu dewan berdetak kencang. Apakah malam ini jadi titik balik, atau awal dari konfrontasi lebih besar? Bali menanti.
Pewarta : Jhon Sinaga
