RI News Portal. Kyiv, 1 November 2025 – Dalam perkembangan terbaru konflik Rusia-Ukraina, Presiden Volodymyr Zelenskyy mengonfirmasi pengerahan sekitar 170.000 personel militer Rusia di wilayah Donetsk timur, dengan fokus utama pada upaya merebut kota Pokrovsk. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers di ibu kota Ukraina pada Jumat, menyoroti intensitas pertempuran yang semakin meningkat di front timur.
Zelenskyy menggambarkan situasi di Pokrovsk sebagai “sangat sulit,” namun menolak narasi Rusia yang mengklaim kota tersebut telah terkepung sepenuhnya setelah lebih dari satu tahun pertempuran berkepanjangan. Meskipun mengakui infiltrasi beberapa kelompok Rusia ke dalam wilayah kota, ia menekankan bahwa pasukan pertahanan Ukraina sedang melakukan operasi pembersihan secara metodis. “Kehadiran elemen Rusia di Pokrovsk sedang diatasi secara bertahap untuk meminimalkan risiko bagi personel kami,” ujar Zelenskyy, merujuk pada strategi pelestarian kekuatan di tengah ketidakseimbangan numerik dengan pasukan Rusia yang lebih unggul.
Pendekatan ini mencerminkan pola historis Ukraina sejak invasi skala besar Rusia pada 2022, di mana penarikan taktis dari posisi tertentu dilakukan untuk menghindari kerugian massal. Analis militer independen menilai bahwa kekurangan tenaga kerja Ukraina—akibat rekrutmen terbatas dan kelelahan pasukan—menjadi faktor kunci dalam dinamika ini, memaksa Kyiv mengandalkan pertahanan posisional dan serangan balasan asimetris.

Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin baru-baru ini menyatakan kemajuan pasukannya, meskipun diakui berlangsung lambat dengan biaya tinggi dalam hal korban dan peralatan. Pernyataan tersebut tampak ditujukan untuk memperkuat posisi negosiasi Moskwa, khususnya terhadap Amerika Serikat yang mendorong penyelesaian damai. Putin juga menyoroti peningkatan kapabilitas nuklir Rusia sebagai elemen pencegahan, sambil mempertahankan tujuan perang yang dianggap esensial bagi kepentingan nasionalnya.
Sebagai bentuk pembalasan strategis, Ukraina telah mengintensifkan operasi ofensif di wilayah Rusia, menargetkan fasilitas vital untuk mengganggu rantai pasok militer dan menimbulkan dampak ekonomi domestik. Kepala Dinas Keamanan Ukraina (SBU), Vasyl Maliuk, mengungkapkan bahwa sejak awal 2025, lebih dari 160 serangan jarak jauh telah berhasil dieksekusi terhadap instalasi pengeboran dan penyulingan minyak Rusia.
Data yang dirilis Maliuk menunjukkan bahwa hanya dalam periode September-Oktober, terdapat 20 serangan semacam itu, yang diklaim menyebabkan penurunan 20% dalam pasokan produk minyak di pasar internal Rusia serta penghentian sementara hingga 37% kapasitas penyulingan nasional. Meskipun angka-angka ini belum diverifikasi secara independen oleh pihak ketiga, Maliuk menyatakan bahwa inisiatif ini merupakan bagian dari evolusi taktis, melibatkan peralatan baru, unit khusus, dan inovasi dalam komunikasi serta metode serangan.
Baca juga : Cha Eun-woo: Dari Inspirasi Animasi K-Pop ke Panggung Diplomasi Global di APEC Gyeongju
Lebih lanjut, Maliuk menyebut penghancuran hampir separuh sistem pertahanan udara Pantsir Rusia sepanjang tahun ini, yang dirancang untuk menangkal drone jarak jauh. Ia juga merujuk pada insiden tahun sebelumnya, di mana sebuah misil hipersonik Oreshnik—dipromosikan sebagai senjata tak terintersepsi dengan kecepatan hingga 10 kali lipat suara—berhasil dihancurkan di pangkalan Kapustin Yar, sekitar 500 kilometer dari perbatasan Ukraina. Klaim ini kontras dengan pernyataan Putin yang menyebut misil tersebut telah digunakan dalam operasi melawan Dnipro, menimbulkan pertanyaan tentang akurasi propaganda kedua belah pihak.
Konflik ini semakin menimbulkan beban berat bagi populasi sipil. Serangan drone Rusia semalam menargetkan bangunan apartemen di Sumy, timur laut Ukraina, menyebabkan 11 orang terluka, termasuk empat anak-anak. Serangan serupa juga menghantam infrastruktur energi di Odesa selatan, menurut laporan otoritas setempat.

Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Ukraina, Matthias Schmale, melaporkan peningkatan 30% dalam korban jiwa sipil dibandingkan tahun sebelumnya. Ia menyoroti serangan rutin Rusia terhadap fasilitas produksi dan distribusi energi sebagai ancaman utama menjelang musim dingin yang diprediksi lebih dingin. “Kerusakan pada sistem terpusat air, limbah, dan pemanas di kota-kota urban dapat memicu krisis kemanusiaan skala besar, terutama di gedung-gedung tinggi dekat garis depan,” kata Schmale dalam briefing di Jenewa.
Schmale juga menyatakan kekhawatiran atas penurunan pendanaan operasi kemanusiaan, dari lebih dari $4 miliar pada 2022 menjadi $1,1 miliar tahun ini. Ia menggambarkan konflik sebagai “perang berkepanjangan” tanpa prospek penyelesaian cepat, meskipun ada fase harapan diplomatik yang dipimpin AS sepanjang tahun. “Realitas di lapangan menunjukkan eskalasi berkelanjutan, bukan de-eskalasi,” tambahnya.
Perkembangan ini menggarisbawahi ketegangan geopolitik yang lebih luas, di mana keunggulan militer Rusia diimbangi oleh ketahanan Ukraina melalui inovasi asimetris, sementara korban sipil terus menjadi indikator tragis dari konflik yang memasuki tahun keempat.
Pewarta : Setiawan Wibisono

