
RI News Portal. Sragen, 18 September 2025 – Di tengah upaya pemerintah nasional mendorong pembangunan infrastruktur berkelanjutan, sebuah proyek pembangunan irigasi di Dusun Siwalan, Desa Blangu, Kecamatan Gesi, Kabupaten Sragen, justru menjadi sorotan atas dugaan pelanggaran serius terhadap undang-undang lingkungan hidup dan prosedur pengadaan proyek daerah. Proyek ini berlangsung tanpa papan keterangan resmi, kejelasan status hukum, dan diduga tanpa prosedur perizinan yang sah, berpotensi merusak ekosistem pertanahan produktif setempat. Investigasi lapangan oleh Lembaga Masyarakat J.E.A Justice Enforcement Association (Asosiasi Penegak Keadilan) mengungkap lapisan-lapisan ketidakjelasan yang menimbulkan kekhawatiran akan eksploitasi alam untuk kepentingan bisnis pribadi.
Proyek irigasi ini, yang melibatkan penggunaan alat berat untuk penggalian tanah, telah menarik perhatian warga setempat karena dampaknya terhadap lingkungan. Seorang penduduk Dusun Siwalan, yang enggan disebut namanya karena khawatir akan retaliasi, mengungkapkan bahwa tanah hasil kerukan dibawa keluar lokasi proyek. “Tanah itu dibawa pergi, entah untuk apa. Kami khawatir ini jadi bisnis sampingan,” ujarnya saat ditemui tim investigasi. Dugaan ini semakin kuat ketika tim J.E.A menemukan bahwa pemilik alat berat tersebut adalah seorang oknum berinisial (A), yang diketahui sebagai anggota Aparat Penegak Hukum (APH) aktif di Polsek Gesi. Keterlibatan oknum aparat ini menambah kompleksitas, karena menimbulkan pertanyaan tentang konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.

Lebih lanjut, penelusuran masyarakat setempat mengarah pada sosok Aman, yang disebut sebagai “Jokoboyo” atau pengawas lapangan—dikenali dari baju merah yang dikenakannya saat berada di lokasi. Namun, ketika ditemui, Aman justru membantah keterlibatannya secara pribadi. “Ini urusan masyarakat desa, saya tidak tahu-menahu soal proyek ini,” dalihnya. Pernyataan yang saling bertolak belakang ini mencerminkan carut-marut pengelolaan proyek, di mana tidak ada kejelasan tanggung jawab. Tanpa dokumen resmi seperti papan proyek yang seharusnya mencantumkan nama kontraktor, anggaran, dan jadwal pelaksanaan, kegiatan ini berpotensi dikategorikan sebagai “proyek siluman”—istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan inisiatif pemerintah daerah yang lolos dari pengawasan publik.
Dari perspektif hukum lingkungan, proyek semacam ini melanggar prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-undang ini mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang yang mencakup manusia dan makhluk hidup lainnya, serta menekankan upaya sistematis untuk melestarikan fungsi lingkungan dan mencegah pencemaran. Khususnya, Pasal 59 UUPPLH mewajibkan setiap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan—seperti penggalian tanah produktif—untuk dilengkapi dengan analisis dampak lingkungan (Amdal) dan izin lingkungan sebelum dimulai. Di Sragen, proyek irigasi ini diduga mengabaikan hal tersebut, yang dapat menyebabkan degradasi tanah pertanian dan gangguan tata air, mengingat wilayah tersebut merupakan area produktif untuk pertanian. Dugaan distribusi tanah kerukan untuk kepentingan bisnis juga berpotensi melanggar larangan dumping limbah atau bahan ke media lingkungan tanpa izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UUPPLH.
Baca juga : Serah Terima Jabatan Wakil Menteri Kehutanan: Rohmat Marzuki Resmi Gantikan Sulaiman Umar Shiddiq
Selain itu, aspek prosedur pengadaan proyek daerah turut menjadi sorotan. Di Indonesia, pengadaan infrastruktur seperti irigasi harus mengikuti prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kompetisi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang telah direvisi melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Prosedur dimulai dari perencanaan, pemilihan penyedia melalui lelang atau penunjukan langsung (dalam kasus darurat), hingga pengawasan kontrak. Untuk proyek daerah, pemerintah kabupaten wajib melibatkan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) untuk memastikan proses terbuka bagi publik. Namun, di kasus ini, tidak ada jejak lelang atau pengumuman resmi, yang menimbulkan dugaan penyimpangan. Keterlibatan oknum APH sebagai pemilik alat berat semakin memperburuk situasi, karena dapat dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan yang melanggar etika pengadaan.
Sanksi hukum atas pelanggaran semacam ini tidak ringan. Secara administratif, UUPPLH memungkinkan pemerintah untuk memberikan teguran tertulis, paksaan penghentian kegiatan, pembekuan izin, hingga pencabutan izin lingkungan. Jika terbukti ada pencemaran atau kerusakan, sanksi pidana bisa mencapai penjara paling lama 3 tahun dan denda hingga Rp 3 miliar untuk pelanggaran baku mutu lingkungan, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 hingga 100 UUPPLH. Untuk proyek tanpa izin, Pasal 511 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menambahkan sanksi paksaan pemerintah terhadap pelaku usaha. Sementara itu, jika terbukti ada unsur korupsi atau eksploitasi dalam pengadaan, pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman penjara lebih panjang.
Sangat disayangkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen tampak berdiam diri atas kegiatan ini, padahal UUPPLH mewajibkan pengawasan aktif dari instansi terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pekerjaan Umum. Lembaga J.E.A Justice Enforcement Association, yang selama ini aktif dalam advokasi penegakan keadilan—meskipun belum banyak terdokumentasi secara nasional—berencana melayangkan surat resmi untuk mempertanyakan kejelasan proyek. “Jika tidak ada tindakan atau penjelasan dari pemerintah daerah, kami akan eskalasi ke tingkat yang lebih tinggi,” kata perwakilan lembaga tersebut. Kasus ini menjadi pengingat bahwa pembangunan infrastruktur harus selaras dengan keberlanjutan, bukan justru menjadi sumber eksploitasi yang menguntungkan pihak tertentu. Masyarakat Sragen berharap transparansi segera ditegakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Pewarta : DN Sragen
