
RI News Portal. Kapuas Hulu, 14 September 2025 – Di tengah lonjakan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) subsidi di wilayah pedesaan Kalimantan Barat, sebuah insiden di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 64.787.05 Boyan Tanjung, Kapuas Hulu, pada 12 September 2025, telah memicu sorotan tajam. Awak media independen yang memantau langsung lokasi tersebut melaporkan adanya dugaan kuat praktik penyimpangan, di mana sejumlah mobil pick-up terlihat secara terang-terangan mengisi BBM menggunakan jerigen dalam jumlah puluhan. Fenomena ini tidak hanya menciptakan antrian panjang bagi konsumen biasa, tetapi juga diduga menjadi bagian dari jaringan “tengki siluman” yang memasok BBM subsidi ke pengecer ilegal, sehingga memicu kelangkaan dan lonjakan harga di tingkat eceran.
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa para pengantri, termasuk kendaraan umum, harus bersabar menghadapi proses pengisian yang lambat akibat prioritas yang diduga diberikan kepada kendaraan-kendaraan tersebut. Salah satu sopir pick-up yang ditemui enggan menunjukkan surat rekomendasi dari desa setempat, yang sering dijadikan dalih untuk pembelian dalam jumlah besar. Ketika diminta transparansi, respons mereka cenderung menghindar, memperkuat kecurigaan bahwa surat tersebut hanyalah alasan semu untuk menutupi operasi yang lebih besar. “Ini bukan sekadar pelanggaran kecil; ini seperti permainan besar yang melibatkan rantai pasok ilegal,” ujar seorang saksi mata yang enggan disebut namanya, menggambarkan bagaimana jerigen-jerigen tersebut kemungkinan besar dialihkan ke pengecer pinggir jalan, di mana harga BBM melonjak hingga dua kali lipat dari tarif resmi.

Dari perspektif hukum, praktik semacam ini berpotensi melanggar sejumlah ketentuan undang-undang yang mengatur distribusi BBM di Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) secara tegas melarang penyalahgunaan BBM subsidi untuk kepentingan komersial di luar ketentuan resmi. Pasal 55 UU tersebut menyatakan bahwa setiap bentuk penyimpangan dalam distribusi BBM dapat dikenai sanksi pidana, termasuk pidana penjara hingga 6 tahun dan denda hingga Rp60 miliar. Selain itu, Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyaluran BBM Tertentu menekankan bahwa pengisian menggunakan jerigen hanya diperbolehkan untuk kebutuhan darurat atau dengan izin khusus, seperti rekomendasi dari pemerintah desa yang harus diverifikasi oleh otoritas terkait seperti Pertamina atau Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Dalam konteks ini, surat rekomendasi dari desa yang tidak transparan bisa dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang administratif. Jika terbukti, hal ini melanggar Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan transparansi dalam penerbitan dokumen resmi. Pemerintah daerah Melawi, sebagai otoritas lokal, memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan melalui Dinas Perhubungan atau Satpol PP, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Daerah setempat. Sanksi tegas, seperti pencabutan izin operasional SPBU atau tuntutan hukum terhadap pemilik kendaraan, menjadi imperatif untuk mencegah preseden buruk. Tanpa intervensi cepat, praktik ini bisa membuka celah bagi kartel BBM ilegal, yang sering kali terhubung dengan jaringan lintas kabupaten, sehingga memerlukan koordinasi dengan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat untuk penyelidikan mendalam.
Baca juga : Banjir Bali: Cermin Kerapuhan Tata Kelola Lingkungan di Tengah Krisis Sampah yang Sistemik
Secara sosial, dugaan praktik nakal ini tidak hanya memperburuk akses masyarakat terhadap BBM subsidi, yang seharusnya menjadi penyangga ekonomi rumah tangga di wilayah pedesaan seperti Kapuas Hulu dan sekitarnya, tetapi juga menciptakan ketidakadilan struktural. Kelangkaan di SPBU resmi mendorong warga beralih ke pengecer, di mana harga eceran bisa mencapai Rp15.000 per liter untuk solar subsidi yang seharusnya hanya Rp6.800. Dampaknya terasa pada sektor transportasi lokal, di mana petani dan nelayan yang bergantung pada kendaraan pick-up mengalami peningkatan biaya operasional hingga 30-40%, menurut estimasi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat tahun sebelumnya. Hal ini memperlemah daya saing ekonomi daerah, di mana sektor pertanian menyumbang lebih dari 50% PDB kabupaten, dan berpotensi memicu inflasi lokal serta ketegangan sosial antarwarga akibat perebutan antrian.

Bagi pemerintah daerah Melawi, efek ini menjadi ujian nyata terhadap kapasitas pengelolaan sumber daya. Ketergantungan pada BBM subsidi sebagai pilar ketahanan energi lokal terganggu, memaksa alokasi anggaran tambahan untuk subsidi transportasi atau program bantuan langsung tunai bagi masyarakat terdampak. Secara lebih luas, fenomena ini mengikis kepercayaan publik terhadap institusi desa dan SPBU, yang seharusnya menjadi mitra dalam pembangunan berkelanjutan. Analisis sosiologis menunjukkan bahwa praktik semacam ini memperkuat siklus kemiskinan struktural, di mana kelompok rentan seperti buruh harian menjadi korban utama, sementara pelaku nakal menuai keuntungan. Pemerintah daerah perlu merespons dengan pendekatan holistik: memperkuat mekanisme pengawasan berbasis teknologi, seperti kamera CCTV di SPBU yang terintegrasi dengan aplikasi pelaporan warga, serta kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran hukum di tingkat desa. Inisiatif seperti ini tidak hanya mencegah rekurensi, tetapi juga membangun resiliensi sosial-ekonomi yang lebih kuat, mengubah tantangan menjadi peluang reformasi.
Kasus di Boyan Tanjung ini menjadi pengingat bahwa transparansi bukan sekadar slogan, melainkan fondasi utama dalam menjaga keadilan energi. Pihak berwenang diharapkan segera bertindak, sebelum permainan besar ini meluas dan merusak tatanan sosial yang rapuh di wilayah perbatasan seperti Melawi. Pantauan lanjutan akan terus dilakukan untuk memastikan akuntabilitas.
Pewarta : Lisa Susanti
