
RI News Portal. Sragen 8 Oktober 2025 – Program Percepatan dan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) merupakan inisiatif Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dirancang untuk merehabilitasi dan meningkatkan jaringan irigasi guna mendukung produktivitas pertanian, stabilitas harga pangan, serta kesejahteraan petani melalui pendekatan padat karya tunai yang melibatkan tenaga kerja lokal, khususnya kelompok tani (Gapoktan).
Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, salah satu lokasi implementasi program ini adalah Daerah Irigasi (D.I.) Bapang di Desa Karangwaru, Kecamatan Plupuh. Proyek ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025 dengan pagu anggaran Rp195 juta, yang seharusnya difokuskan pada peningkatan tata guna air irigasi untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Namun, investigasi lapangan mengungkap serangkaian kejanggalan yang menimbulkan dugaan penyimpangan prosedur dan potensi penyalahgunaan kewenangan. Pekerjaan talud irigasi, yang secara regulasi harus dikerjakan oleh Gapoktan sebagai pelaku utama untuk memastikan partisipasi masyarakat, justru dilaksanakan oleh perangkat desa. Pelaksana lapangan ditunjuk Bayan Kus yang juga bertanggung jawab atas pengadaan material, sementara pengawasan proyek dilakukan oleh perangkat desa seperti Pak Yono dan Pak Beni. Hal ini bertentangan dengan esensi P3-TGAI yang menekankan pemberdayaan petani lokal sebagai tenaga kerja utama.

Lebih lanjut, papan kegiatan proyek sengaja dihilangkan tanpa alasan spesifik, meskipun salah seorang pekerja bernama Salim mengonfirmasi bahwa papan sempat dipasang sebelum dicopot kembali. Saat berhasil didokumentasikan sebelumnya, papan tersebut menunjukkan ketidaksesuaian, seperti penggunaan logo Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen padahal seharusnya logo Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), yang bertanggung jawab atas pengelolaan irigasi primer dan sekunder di wilayah sungai besar.
Ketidakpatuhan ini melanggar prinsip transparansi yang wajib dalam proyek infrastruktur pemerintah. Selain itu, aspek teknis pembangunan talud menunjukkan pelanggaran standar, seperti absennya pipa resapan (weep hole) yang berisiko menghambat resapan air tanah, ketiadaan lapisan dasar pondasi dengan pasir urug setebal 5-10 cm untuk stabilitas struktur, serta tidak adanya shop drawing atau gambar as-built bagi pekerja lapangan.
Prosedur konfirmasi kepada pihak desa dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Sragen juga menemui hambatan, dengan kelurahan mengklaim tidak mengetahui dan ruang PU kosong, sementara dugaan penyalahgunaan kewenangan mengarah pada pemindahan tanggung jawab dari BBWS ke Dinas PU daerah, yang seharusnya hanya mendukung irigasi tersier. Proyek irigasi serupa di 30 titik Kabupaten Sragen diduga berada di bawah pengawasan Ibu Dyah sebagai pejabat Sumber Daya Air (SDA) DPU, namun konfirmasi gagal dilakukan.
Dari perspektif kajian regulasi, pelanggaran ini dapat dikaitkan dengan kerangka hukum Dinas PU dan pemerintah daerah. Pemasangan papan kegiatan merupakan kewajiban mutlak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menjamin keterbukaan informasi publik untuk mencegah korupsi dan memastikan akuntabilitas.
Pelanggaran ini dapat dikenai sanksi administratif seperti teguran tertulis, pemutusan kontrak, pengurangan nilai kontrak, hingga blacklist dari proyek pemerintah, serta sanksi pidana berupa denda Rp500 juta hingga Rp1 miliar atau pidana penjara sesuai Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa. Untuk penyalahgunaan dana APBN, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001) berlaku, dengan ancaman pidana penjara hingga seumur hidup dan denda hingga Rp1 miliar untuk kasus mark-up atau penyimpangan material, sebagaimana terlihat dalam kasus proyek irigasi serupa yang melibatkan material ilegal atau pelanggaran Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Baca juga : Ketidakdisiplinan Oknum Peratin Pekon Cipta Waras Lampung Barat: Ancaman Serius bagi Pelayanan Publik Desa
Standar teknis diatur dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 5 Tahun 2021 dan spesifikasi irigasi nasional, yang mewajibkan weep hole untuk drainase, pasir urug untuk pondasi, dan shop drawing untuk akurasi pelaksanaan. Sanksi hukum ini dilengkapi sanksi sosial jangka panjang yang bertujuan menciptakan efek jera, seperti pencabutan sertifikat badan usaha, pembatasan partisipasi dalam tender pemerintah, dan kerusakan reputasi yang menghambat akses ke proyek swasta atau internasional.
Bagi pejabat daerah seperti di Dinas PU Sragen, sanksi administratif termasuk penurunan peringkat kinerja atau pemecatan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional, yang menekankan sinergi antarlembaga tanpa penyalahgunaan wewenang. Efek jera ini sering lemah karena pelaku korupsi berulang, sehingga diperlukan penguatan melalui audit independen dan pembongkaran fisik untuk verifikasi kesesuaian dengan rencana teknis.
peraturan.
Untuk mencegah rekurensi, pemerintah daerah wajib menerapkan pengawasan langsung oleh BBWS atau tim independen, audit rutin oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan pembongkaran sampel proyek jika ditemukan indikasi penyimpangan, sesuai standarisasi PUPR. Langkah ini tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap regulasi tetapi juga memperkuat legitimasi sosial program irigasi nasional.
Pewarta : Nandang Bramantyo
