
RI News Portal. Manado, 26 September 2025 – Di tengah upaya pemerintah daerah untuk memperkuat ketahanan pangan pasca-pandemi, dugaan penyalahgunaan dana program tersebut di Desa Sea 1, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, kembali menjadi sorotan. Warga setempat menuntut transparansi penuh dari inspektorat dan aparat penegak hukum, mengingat kasus serupa yang menimpa usaha peternakan tahun 2023 masih meninggalkan luka mendalam tanpa penyelesaian memadai. “Ini bukan hanya soal uang, tapi kepercayaan kami terhadap pengelolaan dana desa yang seharusnya untuk kesejahteraan bersama,” ujar salah seorang warga yang enggan disebut namanya.
Program Dana Ketahanan Pangan, yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dirancang untuk mendukung inisiatif ekonomi berbasis masyarakat seperti peternakan dan perikanan. Namun, di Desa Sea 1—sebuah komunitas agraris di lereng pegunungan Pineleng yang bergantung pada pertanian subsisten—program ini justru menjadi sumber kontroversi. Pada 2024, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSB) yang dipimpin Sony Ratela dituduh salah kelola dana tersebut dalam proyek peternakan ayam. Warga mengklaim bahwa laporan kegagalan usaha—disebabkan oleh wabah virus—tidak meyakinkan, disertai nota-nota pengeluaran yang dianggap fiktif dan tidak transparan.

Menurut narasumber warga yang ditemui tim redaksi di pinggir sawah desa, proses hukum kasus ini telah melibatkan inspektorat daerah, kepolisian, dan kejaksaan sejak awal tahun. “Sudah diperiksa, tapi sampai sekarang terdiam. Tidak ada kejelasan tahap mana yang sedang berjalan,” keluhnya. Lebih lanjut, ia menyoroti ketidakadilan dalam penyelesaian: meski dugaan pelanggaran mengarah pada ketua KSB dan bendaharanya, justru kepala desa yang terpaksa menanggung ganti rugi (TGR) atas kerugian masyarakat. “Padahal pelakunya sudah jelas. Kami prihatin, kenapa transparansi ini malah dibalik?” tambahnya, merujuk pada dokumen internal desa yang menunjukkan alokasi dana mencapai puluhan juta rupiah untuk proyek tersebut.
Kasus ini bukan yang pertama. Pada 2023, program serupa yang difokuskan pada ternak babi dan ikan mujair juga berujung kegagalan dengan alasan serupa: banyaknya hewan yang mati akibat faktor eksternal. Warga menduga pola yang sama: dana hilang dalam kegelapan administrasi, sementara manfaat bagi desa minim. “Usaha itu seharusnya memberdayakan kami, tapi malah jadi beban. Uangnya kemana? Nota-notanya simpang siur, tidak ada yang percaya,” ungkap warga lain yang terlibat dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Mereka mendesak agar inspektorat segera memeriksa ketua KSB, bendahara, serta tokoh BPD dan BUMDes untuk mengungkap “dalang” di balik penyelewengan.
Dari perspektif akademis, kasus ini mencerminkan tantangan struktural dalam pengelolaan dana desa di tingkat mikro, sebagaimana dianalisis dalam studi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) tahun 2024 tentang korupsi preventif di sektor pangan. Peneliti seperti Dr. Maria L. Tumewu menekankan bahwa mekanisme pengendalian internal inspektorat—seperti audit berbasis risiko—sering kali terhambat oleh keterbatasan sumber daya dan koordinasi antarlembaga. “Penyalahgunaan wewenang seperti ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga erosi modal sosial desa. Diperlukan integrasi teknologi pelacakan dana digital untuk mencegah rekurensi,” tulisnya dalam jurnal Jurnal Ekonomi Pembangunan Lokal. Di tingkat nasional, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan kewajiban transparansi, namun implementasinya di daerah seperti Minahasa masih rapuh, terutama di program ketahanan pangan yang rentan terhadap fluktuasi pasar dan bencana alam.
Warga Desa Sea 1 kini membentuk forum ad hoc untuk memantau perkembangan, dengan harapan kasus ini tidak lagi “dilipahkan kembali ke desa” tanpa akuntabilitas. Mereka menyerukan agar inspektorat bertindak sebagai pengawas independen, bukan sekadar formalitas. “Usut tuntas! Ini mekanisme untuk mencegah, bukan menutupi,” tegas perwakilan forum tersebut. Hingga berita ini diturunkan, pihak inspektorat Kabupaten Minahasa belum memberikan tanggapan resmi, meski janji investigasi lanjutan telah disampaikan secara lisan.
Artikel ini disusun berdasarkan wawancara langsung dengan warga dan analisis dokumen desa, bertujuan memberikan perspektif holistik yang jarang dieksplorasi media arus utama—yaitu kaitan antara kegagalan program pangan dengan dinamika kekuasaan lokal. Desa Sea 1, dengan populasi sekitar 1.500 jiwa, menjadi cermin bagi ribuan desa lain di Sulawesi Utara yang bergulat dengan isu serupa. Apakah ini akan menjadi titik balik bagi reformasi, atau sekadar babak baru dalam siklus ketidakpastian? Waktu akan memberi jawaban.
Pewarta : Marco Kawulusan
