
RI News Portal. Padangsidimpuan – Kasus dugaan penganiayaan terhadap anak di bawah umur kembali menjadi sorotan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menyoroti kerentanan anak-anak dalam lingkungan pendidikan. Laporan polisi yang diajukan oleh seorang ayah pada akhir Agustus lalu mengungkap pola kekerasan antar siswa yang diduga berakar dari perselisihan sepele, memicu diskusi lebih luas tentang efektivitas implementasi undang-undang perlindungan anak di tingkat lokal.
Adil Syahputra Batubara, seorang warga berusia 42 tahun, secara resmi melaporkan kejadian tersebut ke Polres Tapanuli Selatan pada Sabtu, 30 Agustus 2025, pukul 14.04 WIB. Nomor laporan LP/B/26-4/VIII/2025/SPKT/POLRES TAPANULI SELATAN/POLDA SUMATERA UTARA mencatat bahwa anaknya, NM, menjadi korban penganiayaan oleh sekelompok teman sekolahnya. Kasus ini diduga melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menekankan hak anak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun seksual.

Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu, 13 Agustus 2025, sekitar pukul 14.00 WIB, di belakang sebuah bengkel sepeda motor di Desa Tolang Julu, Kecamatan Sayurmatinggi. Menurut keterangan Adil, NM pulang ke rumah dalam keadaan menangis dan mengaku telah dianiaya oleh sekitar lima temannya dari MTSN 4 Tapsel. Di antara para pelaku, NM hanya mengenali satu orang, yaitu Aidil, yang merupakan teman sekelasnya.
Kronologi dimulai dari insiden kecil di dalam kelas, di mana Aidil mengambil peci hitam milik NM dan membuangnya ke lapangan sekolah. Aksi ini menuai teguran dari wali kelas, Rosida Hasibuan. Dugaan sementara menunjukkan bahwa teguran tersebut memicu rasa sakit hati pada Aidil, yang kemudian mengajak rekannya untuk melakukan penganiayaan terhadap NM di lokasi terpencil tersebut. Pola seperti ini, di mana konflik kecil berujung pada kekerasan fisik, sering kali mencerminkan kurangnya mekanisme resolusi konflik di sekolah, sebagaimana diamati dalam berbagai studi tentang bullying di institusi pendidikan Indonesia.
Baca juga : Japung terpilih sebagai Ketua APIK dilampung timur, KWRI turut apresiasi petani Kakao dilampung
Dampak dari penganiayaan ini cukup serius bagi NM, yang mengalami luka pada pangkal hidung berupa lebam, lecet dan bengkak pada bibir bagian dalam atas, pembengkakan pada kepala belakang kiri, serta bengkak pada pipi kiri. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan trauma fisik, tetapi juga potensi dampak psikologis jangka panjang, seperti penurunan rasa percaya diri dan ketakutan bersekolah. Adil, sebagai pelapor, menekankan bahwa langkah hukum ini diambil semata-mata untuk menjamin keadilan dan perlindungan bagi anaknya, sekaligus sebagai upaya pencegahan agar insiden serupa tidak terulang.
Saat ini, Polres Tapanuli Selatan sedang menangani kasus ini dengan memanggil saksi-saksi dan pihak terlapor untuk dimintai keterangan. Proses ini diharapkan berjalan transparan, mengingat sensitivitas kasus yang melibatkan anak di bawah umur. Adil juga menyuarakan harapannya agar lingkungan sekolah lebih proaktif dalam memantau interaksi antar siswa, termasuk melalui program pendidikan karakter yang lebih intensif.
Menanggapi kasus ini, pemerhati kebijakan publik Bang Regar menyoroti urgensi kolaborasi antara sekolah dan aparat penegak hukum. “Sekolah bukan sekadar arena akademis, melainkan ruang pembentukan karakter sosial. Kejadian seperti ini menandakan adanya celah dalam sistem pembinaan, yang harus segera diatasi melalui kerjasama lintas institusi,” ujarnya. Bang Regar menambahkan bahwa momentum ini bisa dimanfaatkan untuk memperkuat penerapan UU Perlindungan Anak, dengan mendorong pemerintah daerah membangun sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap dinamika siswa.
Lebih lanjut, Bang Regar menekankan implikasi jangka panjang: “Anak-anak sebagai penerus bangsa harus dilindungi sejak dini. Tanpa itu, kita berisiko kehilangan generasi yang seharusnya berkembang dalam lingkungan aman dan mendukung.” Pernyataan ini sejalan dengan diskursus akademis tentang perlindungan anak, di mana kekerasan di sekolah sering kali menjadi indikator kegagalan sistemik dalam pendidikan inklusif.
Kasus di Tapanuli Selatan ini bukanlah yang pertama, namun bisa menjadi katalisator perubahan. Dengan pendekatan yang lebih holistik, melibatkan orang tua, guru, dan komunitas, diharapkan kekerasan antar anak dapat diminimalisir, menciptakan ekosistem pendidikan yang benar-benar aman bagi semua pihak.
Pewarta : Indra Saputra
