
RI News Portal. Tangerang, 17 Agustus 2025 – Di tengah dinamika industri manufaktur Indonesia yang semakin kompetitif, kasus dugaan pelanggaran hak buruh di PT Dwi Naga Sakti Abadi (DNSA) menyoroti isu struktural dalam perlindungan tenaga kerja. Perusahaan yang berbasis di Jalan Daan Mogot KM 19, Jurumudi Baru, Kelurahan Benda, Kecamatan Batu Ceper, Kota Tangerang, Provinsi Banten, ini telah beroperasi lebih dari tiga dekade dengan fokus produksi barang konsumsi yang dipasarkan secara lokal maupun ekspor. Dengan tenaga kerja tetap sebanyak 166 orang—banyak di antaranya telah mengabdi selama sekitar 25 tahun—serta karyawan kontrak dan tenaga harian lepas (THL), PT DNSA kini menghadapi tuduhan serius terkait penggelapan upah dan iuran BPJS Ketenagakerjaan, yang berpotensi melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan.
Kasus ini mencerminkan pola umum dalam sektor industri di wilayah peri-urban seperti Tangerang, di mana tekanan ekonomi pasca-pandemi sering kali berdampak pada hak dasar pekerja. Berdasarkan laporan yang beredar, dugaan penggelapan upah dimulai sejak 2021 hingga 2022, dengan pemotongan sebesar 25% dari gaji bulanan karyawan, tanpa dasar hukum yang jelas. Selain itu, perusahaan diduga tidak membayarkan upah sesuai Upah Minimum Kota (UMK) Tangerang, yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai regulasi nasional. Total nilai dugaan penggelapan upah ini mencapai Rp2.304.015.708, sebuah angka yang signifikan mengingat skala operasional perusahaan.

Lebih lanjut, tuduhan meluas ke penggelapan iuran BPJS Ketenagakerjaan selama 13 bulan. Potongan iuran per karyawan sebesar Rp100.000 per bulan, dikalikan dengan 166 karyawan tetap, menghasilkan total Rp16.600.000 per bulan. Akumulasi selama periode tersebut mencapai Rp215.800.000. Praktik ini tidak hanya merugikan pekerja secara finansial tetapi juga mengancam akses mereka terhadap jaminan sosial, seperti pensiun dan kecelakaan kerja, yang merupakan hak konstitusional berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Kronologi kasus ini semakin memanas pada 2023, ketika karyawan melaporkan permasalahan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Tangerang. Respons dinas tersebut berupa surat penetapan kekurangan upah No. 360/3368/DTKTB/N/WAS/X/2023 tertanggal 4 Oktober 2023, yang mewajibkan perusahaan membayar hak pekerja. Namun, pimpinan PT DNSA diduga mangkir dari panggilan dan tidak memenuhi kewajiban tersebut. Situasi memburuk pada 7 Agustus 2025, ketika perusahaan dituduh melakukan diskriminasi dengan menawarkan upah Rp4.000.000 per bulan—di bawah UMK Tangerang yang mencapai lebih dari Rp5.000.000—dengan syarat karyawan mencabut laporan ke Disnakertrans dan kepolisian. Alih-alih memenuhi tawaran tersebut, perusahaan justru membayarkan upah Rp3.200.000 yang dicicil dua kali dalam sebulan, sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip pembayaran upah tepat waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (sebagaimana diubah oleh UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang).
Baca juga : Malam Tirakatan HUT RI Ke-80 di Kampung Candi Sewu Semarang: Semarak Nasionalisme dan Kebersamaan
Dari perspektif akademis, kasus ini mengilustrasikan kegagalan implementasi regulasi ketenagakerjaan di tingkat perusahaan, khususnya dalam konteks UU Cipta Kerja yang bertujuan mempermudah investasi namun sering dikritik karena melemahkan perlindungan buruh. Pasal 88E ayat (2) UU No. 6 Tahun 2023 juncto Pasal 185 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2022 menekankan kewajiban pengusaha untuk membayar upah dan jaminan sosial secara penuh, dengan sanksi pidana bagi pelanggar. Dugaan penggelapan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan tenaga kerja, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi bagi pekerja dan negara melalui hilangnya kontribusi BPJS.
Respons masyarakat sipil terhadap kasus ini semakin intensif. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) menyatakan akan melaporkan PT DNSA ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya. Langkah ini didasari pada bukti-bukti dugaan pelanggaran sistematis, termasuk diskriminasi dan penggelapan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Sebelumnya, pada Mei 2025, ratusan karyawan—terutama perempuan—melakukan aksi demonstrasi massal, menutup akses pabrik untuk menuntut pembayaran THR penuh dan kekurangan upah sejak 2021. Aksi tersebut, yang didukung oleh serikat buruh seperti Federasi Serikat Buruh Nusantara (FSBN) dan Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), menyoroti ketidakadilan gender dalam sektor buruh, di mana banyak pekerja perempuan menjadi korban utama pemotongan upah.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kasus PT DNSA bukanlah insiden terisolasi. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat peningkatan laporan pelanggaran upah di wilayah Jabodetabek pasca-reformasi ketenagakerjaan 2020, di mana perusahaan sering kali memanfaatkan fleksibilitas kontrak untuk mengurangi biaya operasional. Secara ekonomi, praktik semacam ini dapat menurunkan daya beli pekerja, yang pada akhirnya memengaruhi pertumbuhan lokal. Dari sudut pandang hukum, penegakan sanksi pidana diperlukan untuk menciptakan efek jera, sementara pendekatan restoratif seperti mediasi melalui Disnakertrans bisa menjadi alternatif untuk penyelesaian damai.
Hingga saat ini, PT DNSA belum memberikan tanggapan resmi terhadap tuduhan tersebut. Namun, berdasarkan catatan pengamanan polisi pada aksi demonstrasi sebelumnya, perusahaan telah berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk menjaga stabilitas. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi regulator untuk memperkuat pengawasan, memastikan bahwa kemajuan industri tidak mengorbankan hak asasi buruh. Pemantauan lanjutan diperlukan untuk melihat apakah laporan KCBI akan membuahkan proses hukum formal, yang potensial mengubah lanskap ketenagakerjaan di Tangerang.
Pewarta : Jhon Sinaga
