
RI News Portal. Padangsidimpuan, 12 Oktober 2025 – Di tengah himpitan ekonomi pasca-pandemi yang masih menjerat masyarakat Sumatera Utara, sebuah kegiatan bimbingan teknis (bimtek) desa se-Kota Padangsidimpuan justru menjadi pusat kontroversi. Diselenggarakan di Hotel Grand Antares, Medan, acara bertajuk “Strategi Pengelolaan Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) untuk Pelaksanaan Kegiatan Ketahanan Pangan di Desa” ini diduga kuat menjadi ajang korupsi terselubung, dengan anggaran ratusan juta rupiah yang mengalir tanpa pengawasan ketat. Lembaga Pengembangan Masyarakat Desa (LPMD) Kota Padangsidimpuan, sebagai penyelenggara, mengundang tiga perwakilan per desa—kepala desa, pengelola Bumdes, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)—dengan biaya Rp5 juta per orang untuk akomodasi, transportasi, dan kebutuhan lainnya selama empat hari, dari 9 hingga 12 Oktober 2025.
Meski bertujuan mulia untuk memperkuat ketahanan pangan desa, pelaksanaan bimtek ini menuai kecaman pedas dari berbagai kalangan. Kuat dugaan, acara yang seharusnya berlangsung empat hari penuh hanya “dipangkas” menjadi satu hari efektif, sementara sisanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Total anggaran yang digelontorkan mencapai ratusan juta rupiah, mengingat Padangsidimpuan memiliki puluhan desa yang wajib mengirimkan peserta. “Ini bukan lagi pelatihan, tapi pesta pora yang disamarkan,” tegas seorang sumber di kalangan aparatur desa yang enggan disebut namanya, mengisyaratkan adanya mark-up biaya hotel dan transportasi lintas provinsi.
Lokasi penyelenggaraan di Medan, yang berjarak ratusan kilometer dari Padangsidimpuan, semakin menambah tanda tanya. Mengapa tidak diadakan secara lokal, di mana fasilitas hotel dan ruang pertemuan sudah tersedia dengan biaya jauh lebih murah? Pilihan ini bukan hanya boros, tapi juga bertentangan dengan semangat efisiensi anggaran negara di masa sulit seperti sekarang, di mana inflasi pangan masih menggerogoti daya beli warga desa.

Dugaan penyimpangan semakin menguat dengan keterlibatan figur kunci di balik layar. Staf khusus Wali Kota Padangsidimpuan berinisial WR disebut-sebut sebagai pendorong utama inisiatif ini, sementara pengurus LSM yang kini bertransformasi menjadi “pemborong” proyek pemerintah dengan inisial SMH diduga memuluskan jalannya birokrasi. Keduanya, menurut informasi yang beredar di kalangan aktivis anti-korupsi, memiliki jejak panjang dalam proyek-proyek serupa yang sering berujung pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Mereka seperti sutradara bayangan, memastikan alur dana mengalir ke kantong yang tepat,” ujar seorang pengamat birokrasi lokal.
Foto daftar hadir yang bocor ke publik menunjukkan kehadiran peserta yang minim, meski undangan resmi menjanjikan program padat selama empat hari. Ini mengindikasikan kemungkinan pemalsuan absensi untuk mengklaim biaya penuh, praktik yang kerap menjadi pintu masuk korupsi dalam bimtek desa di Sumatera Utara. Kasus serupa pernah terungkap di Kabupaten Langkat pada 2021, di mana bimtek keluar daerah berujung pada dugaan gratifikasi dan suap senilai jutaan rupiah per peserta, tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
Praktisi hukum Agus Halawa, SH, yang dikenal vokal dalam isu tata kelola pemerintahan, menyayangkan keras pelaksanaan bimtek ini. Dalam wawancara eksklusif dengan tim redaksi, Halawa menggelengkan kepala dengan senyum getir. “Kita sangat menyayangkan adanya pelaksanaan Bimtek Desa se-Kota Padangsidimpuan yang berlangsung di Kota Medan ini. Terlihat dipaksakan, mengingat situasi ekonomi kita saat ini yang masih rapuh. Dan kalaupun memang sangat perlu, kenapa harus di Medan? Kan putaran ekonomi kita makin bagus kalau dilaksanakan di kota kita sendiri, Padangsidimpuan,” katanya, nada suaranya penuh sindiran halus.
Baca juga : Polres Wonogiri Ungkap Kasus Tabrak Lari di Purwantoro, Pelaku Gunakan Pelat Nomor Palsu
Lebih lanjut, Halawa menyoroti potensi pelanggaran etika yang mencolok. “Apakah tidak ada fasilitas layak di sini, atau jangan-jangan ada yang harus dijaga atau disembunyikan dari publik? Sehingga dipaksakan ke Medan, jauh dari pengawasan mata warga.” Ia menekankan, dari perencanaan hingga eksekusi, bimtek ini sarat dengan aroma korupsi. “Acara seperti ini sering jadi temuan tindak pidana korupsi. Jangan coba-coba mempermainkan kegiatan bersumber anggaran negara. Ini bukan main-main,” tegasnya, mengingatkan agar aparat penegak hukum segera turun tangan.
Dugaan ini tak main-main, mengingat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001) memiliki pasal-pasal yang siap menggigit pelaku. Pasal 2 secara tegas mengatur perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau badan yang merugikan keuangan negara, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau minimal empat tahun hingga maksimal 20 tahun. Sementara Pasal 3 menyasar penyalahgunaan wewenang jabatan yang menyebabkan kerugian ekonomi negara. Tak ketinggalan Pasal 5, 6, 11, 12, dan 13 yang merinci bentuk korupsi lain seperti penerimaan gratifikasi, suap, atau tindakan bertentangan kewajiban.
Pasal 18 bahkan membuka pintu penyitaan aset jika terdakwa gagal membayar uang pengganti. Dalam konteks bimtek ini, mark-up biaya perjalanan dan pemotongan durasi acara bisa masuk kategori gratifikasi atau kolusi, mirip kasus-kasus sebelumnya yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Sumatera Utara—seperti proyek jalan yang melibatkan pejabat Padangsidimpuan baru-baru ini.
Masyarakat sipil dan aktivis kini menyoroti Kejaksaan Negeri (Kejari) Padangsidimpuan sebagai garda terdepan. “Ini saatnya Kejari turun tangan, selidiki dari akarnya. Jangan sampai anggaran desa yang seharusnya untuk ketahanan pangan malah jadi bancakan elit,” desak Halawa. Hingga berita ini diturunkan, pihak LPMD dan Pemko Padangsidimpuan belum merespons permintaan konfirmasi. Namun, sorotan publik sudah mulai membara di media sosial, dengan tagar #StopKorupsiBimtekDesa mulai ramai.
Di era digital ini, transparansi bukan lagi opsi, tapi kewajiban. Apakah bimtek ini hanya puncak gunung es dari praktik lama, atau momentum untuk reformasi tata kelola desa? Jawabannya tergantung pada langkah tegas aparat hukum. Warga Padangsidimpuan, yang bergantung pada dana desa untuk bertahan, menunggu keadilan—bukan lagi janji kosong di balik undangan mewah.
Pewarta : Indra Saputra
