
RI News Portal. Subulussalam, 1 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk musim hujan yang mulai menyapa Aceh, warga Kota Subulussalam justru lebih khawatir dengan “badai” keuangan yang tak kunjung reda. Hingga akhir September 2025, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK) Subulussalam masih mencapai angka fantastis sekitar Rp80 miliar, menurut data internal yang bocor ke publik melalui sumber terpercaya di DPRK. Angka ini, meski diklaim telah “tertekan” dari Rp110 miliar di tahun sebelumnya, tetap menjadi bom waktu yang mengancam kelangsungan layanan dasar seperti gaji pegawai, kesehatan, dan pendidikan. Lebih dari itu, keterlambatan realisasi APBK hanya 7,38 persen hingga Mei lalu—terendah di Aceh—membuat warga bertanya: di mana transparansi yang dijanjikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)?
Undang-Undang KIP, yang telah diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010, seharusnya menjadi tameng bagi masyarakat untuk menuntut keterbukaan pengelolaan anggaran negara. Pasal-pasalnya tegas: badan publik, termasuk pemerintah daerah, wajib menyediakan informasi terkait keuangan secara proaktif dan responsif, tanpa alasan untuk “menutup-tutupi”. Namun, di Subulussalam, amanah ini seolah terlupakan. APBK 2025, yang akhirnya disahkan melalui Peraturan Walikota pada Januari lalu setelah keterlambatan parah hingga akhir 2024, masih menyimpan misteri. Pinjaman daerah Rp22 miliar yang dimasukkan sebagai “asumsi” dalam rancangan anggaran—tanpa kejelasan sumbernya—berpotensi menciptakan defisit fiktif jika tak terealisasi, seperti yang dikhawatirkan oleh pakar keuangan daerah dari Universitas Syiah Kuala.

“Ini bukan sekadar soal angka, tapi soal kepercayaan,” kata Dr. Cut Meurah Yani, dosen ilmu keuangan publik di USK, yang baru saja merilis studi tentang transparansi APBD di Aceh. Dalam wawancara eksklusif dengan tim redaksi, ia menyoroti bahwa defisit berkepanjangan Subulussalam bukan hanya akibat keterlambatan pembahasan anggaran dengan DPRK, tapi juga kurangnya laporan posisi keuangan triwulanan yang wajib dipublikasikan sesuai KIP. Studi Yani, yang menganalisis data APBD 2020-2025 dari 23 kabupaten/kota Aceh, menemukan bahwa Subulussalam termasuk lima daerah terburuk dalam indeks transparansi, dengan skor hanya 45 dari 100. “Tanpa keterbukaan, defisit seperti ini bisa menjadi lahan subur korupsi. Bayangkan, pos belanja terbesar—seperti infrastruktur Rp150 miliar—tak dijelaskan realisasinya, sementara RSUD setempat lumpuh karena gaji medis tertunda berbulan-bulan.”
Desakan ini bukan datang dari vakum. Saat kampanye 2024, pasangan Walikota dan Wakil Walikota Subulussalam berjanji defisit sebagai “prioritas utama” yang akan diselesaikan dalam tiga tahun pertama. Janji itu kini diuji oleh realitas: kewajiban tahun sebelumnya (2022-2024) yang mencapai ratusan miliar belum lunas, dan rencana pinjaman baru Rp22 miliar justru dikhawatirkan menambah beban bunga di 2026. Media lokal seperti Strategi News telah mengirim surat resmi ke Wali Kota dan Badan Perencanaan Keuangan Anggaran Daerah (BPKAD), menanyakan jumlah pasti defisit, pos penyumbang utama, dan dampaknya terhadap layanan publik. Pertanyaan-pertanyaan itu—dari langkah konkret 3-6 bulan ke depan hingga kepastian tak ada pinjaman tambahan—kini bergaung di kalangan masyarakat.
Baca juga : Pembalikan Peran: Saat Pemilik Arisan Jadi Korban Penggelapan Dana, Fenomena Baru di Era Digital
Tapi suara terkuat justru dari warga biasa. Di sebuah warung kopi pinggir Jalan Mayor Syafrie, tiga ibu rumah tangga—dari kalangan guru honorer, perawat, dan pedagang—berbagi cerita getir. “Anak saya sakit minggu lalu, tapi RSUD cuma buka IGD. Dokter bilang, ‘Maaf Bu, gaji kami belum cair sejak Juni.’ Ini defisit yang mana? Yang janji kampanye itu?” curhat Siti Rahmah, 42 tahun, perawat RSUD Subulussalam yang gajinya tertunda tiga bulan. Di sisi lain, Hasanuddin, tokoh masyarakat dari Kampung Blang Panyang, menambahkan: “Kami dukung surat dari media itu. Jangan sampai defisit cuma turun di kertas, tapi sekolah bocor dan jalan rusak tetap dibiarkan. Publik punya hak tahu, sesuai UU KIP. Kalau Pemko tutup mulut, kami yang bayar harganya—lewat pajak dan penderitaan sehari-hari.”
Fenomena ini mencerminkan dilema lebih luas di daerah otonom Aceh. Menurut laporan Bank Indonesia Aceh edisi September 2025, defisit APBD di Aceh naik 15 persen year-on-year, didorong oleh ketergantungan pada Dana Alokasi Umum (DAU) yang terancam dipotong 50 persen jika realisasi di bawah 20 persen. Subulussalam, dengan PAD minim hanya Rp15 miliar dari potensi pariwisata alamnya, jadi korban utama. Namun, ada sinar harapan: Fraksi Rabbani di DPRK baru saja mengapresiasi penekanan defisit di rapat paripurna akhir September, menyetujui Perubahan APBK 2025 sebagai langkah strategis. “Ini bukti komitmen, tapi harus diikuti transparansi penuh,” tegas Ratmala Dewi Hasugian, ketua fraksi itu.
Dengan dukungan luas dari warga, desakan kini mengarah pada aksi konkret: publikasi rutin laporan keuangan per triwulan di situs Pemko, dialog terbuka dengan masyarakat, dan audit independen oleh BPKP Aceh. Jika janji kampanye tak lebih dari retorika, warga Subulussalam siap menggelorakan aspirasi mereka—mungkin melalui petisi atau forum publik. Seperti kata Dr. Yani, “Transparansi bukan beban, tapi jembatan menuju pemerintahan yang akuntabel. Subulussalam punya potensi, tapi tanpa keterbukaan, defisit ini akan abadi.”
Warga menunggu jawaban Pemko: apakah target nol defisit dalam tiga tahun jadi kenyataan, atau sekadar mimpi basah politik? Hingga kini, keheningan resmi masih mendominasi, tapi suara rakyat semakin kencang. Subulussalam tak ingin lagi jadi contoh buruk good governance di Aceh—mereka layak dapat yang lebih baik.
Pewarta : Jaulim Saran
