
RI News Portal. Wonogiri – Peristiwa yang terjadi pada Minggu (31/8/2025) di Kabupaten Wonogiri menimbulkan keprihatinan publik sekaligus refleksi akademis mengenai relasi antara anak, ruang publik, dan potensi anarkisme. Polres Wonogiri mengamankan delapan anak di bawah umur yang diduga merencanakan aksi pelemparan bom molotov ke Gedung DPRD Wonogiri dan Polsek Wonogiri Kota.
Barang bukti berupa bom molotov rakitan berhasil ditemukan. Meski belum terjadi aksi destruktif, rencana tersebut menggambarkan adanya pola perilaku menyimpang yang melibatkan pelajar SMP hingga SMA/SMK. Kapolres Wonogiri, AKBP Wahyu Sulistyo, menegaskan bahwa langkah pengamanan dilakukan semata untuk menjaga stabilitas keamanan dan mencegah eskalasi situasi yang dinamis di tengah masyarakat.
Momen penyerahan kembali delapan anak tersebut kepada orang tua, sekolah, dan kepala desa di Mapolres Wonogiri pada Senin (1/9/2025) berlangsung penuh keharuan. Anak-anak yang diamankan menangis dan meminta maaf kepada orang tua mereka. Bahkan, Wakil Bupati Wonogiri Imron Rizkyarno yang turut hadir bersama Forkompimda tidak dapat menahan air mata.

Bagi orang tua, fakta bahwa anak-anak mereka terlibat dalam perencanaan tindakan berbahaya menjadi tamparan keras. Sejumlah orang tua mengaku awalnya hanya dipamiti anak untuk membeli perlengkapan sederhana seperti deker tangan, namun tidak menyangka niat sesungguhnya adalah menyiapkan bahan peledak rakitan. Rasa malu bercampur penyesalan menyertai permintaan maaf mereka kepada masyarakat Wonogiri.
Dalam konteks keamanan publik, kasus ini memperlihatkan pentingnya deteksi dini terhadap perilaku anak di ruang sosial. Tindakan bleyer-bleyer atau konvoi motor yang menjadi awal pengumpulan mereka, secara sosiologis, mencerminkan pencarian identitas remaja yang rentan dimanfaatkan. Dandim 0728/Wonogiri Letkol Inf Edi Ristriyono mengingatkan agar anak-anak tidak terjebak dalam manipulasi pihak tertentu yang ingin menciptakan instabilitas sosial.
Baca juga : Aksi Mahasiswa di DPRD Sulut: Suara Akademik Menuntut Keadilan untuk Guru Besar
Selain aparat TNI dan Polri, unsur kejaksaan dan pemerintah daerah juga menyuarakan hal yang sama. Plt Kepala Kejaksaan Negeri Wonogiri, Tjut Zelvira Nofani, menekankan bahwa pembinaan yang dilakukan harus menghasilkan efek jera, sekaligus menggali potensi anak agar diarahkan ke hal-hal produktif.
Pemerintah Kabupaten Wonogiri memastikan delapan anak tersebut akan menjalani program pembinaan di rumah rehabilitasi sosial Dinas Sosial. Menurut Sekda Wonogiri FX Pranata, fasilitas tersebut siap difungsikan, dengan tujuan agar anak tetap mendapatkan pendidikan karakter tanpa mengganggu aktivitas belajar.
Dari perspektif kebijakan publik, langkah ini mencerminkan pendekatan restorative justice di mana anak sebagai pelaku pelanggaran tidak semata-mata dihukum, melainkan diarahkan pada perbaikan diri. Wakil Ketua DPRD Wonogiri Suryo Suminto menegaskan pentingnya sikap masyarakat untuk tidak terprovokasi, karena yang lebih utama adalah menjaga kondusivitas daerah.
Kasus ini dapat dipahami sebagai titik temu antara problematika anak, pendidikan, dan dinamika politik lokal. Rencana anarkis yang muncul dari kelompok pelajar mengindikasikan adanya celah pengawasan, baik dari keluarga, sekolah, maupun lingkungan sosial. Dalam perspektif hukum anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jelas mengutamakan pendekatan pembinaan. Namun, dalam kerangka etika politik, peristiwa ini menjadi peringatan bahwa simbol-simbol negara seperti gedung DPRD dan institusi kepolisian tetap rentan dijadikan sasaran ekspresi destruktif, bahkan oleh kalangan usia dini.
Dengan demikian, peristiwa di Wonogiri bukan sekadar kasus kriminal anak, melainkan momentum refleksi kolektif mengenai bagaimana negara, keluarga, dan masyarakat sipil bersama-sama membangun benteng moral sekaligus ruang partisipasi positif bagi generasi muda.
Pewarta : Nandang Bramantyo
