RI News Portal. Johannesburg, 23 November 2025 – Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Ronald Lamola menyebut disepakatinya Deklarasi Pemimpin G20 pada Sabtu (22/11) sebagai “kemenangan nyata bagi multilateralisme” dalam konteks dunia yang semakin terpolarisasi. Pernyataan itu disampaikan usai sesi pleno pertama KTT G20 yang digelar di Sandton Convention Centre, Johannesburg.
“Adopsi deklarasi oleh seluruh pemimpin dunia hari ini membuktikan bahwa meskipun terdapat perbedaan mendalam, kita masih mampu mencapai titik temu demi kepentingan bersama,” ujar Lamola dalam jumpa pers khusus. Ia menekankan bahwa deklarasi tersebut bukan sekadar dokumen seremonial, melainkan sinyal kuat bahwa mekanisme kerja sama multilateral tetap relevan dan efektif.
Afrika Selatan, sebagai tuan rumah presidensi G20 tahun ini, berhasil memfasilitasi kesepakatan konsensus meski sempat muncul spekulasi kuat bahwa perbedaan sikap terkait konflik Ukraina dan Timur Tengah dapat menggagalkan deklarasi bersama—seperti yang terjadi pada KTT G20 Bali 2022 dan New Delhi 2023. Keberhasilan Johannesburg ini menjadi yang pertama sejak 2021 di Roma yang menghasilkan deklarasi tanpa catatan dissenting opinion signifikan.

Lamola secara khusus menyoroti poin-poin deklarasi yang memperkuat suara Global South: komitmen reformasi tata kelola lembaga keuangan internasional (termasuk kuota dan hak suara di IMF dan Bank Dunia), penekanan pada pembiayaan transisi energi yang adil, serta pengakuan eksplisit atas kebutuhan debt restructuring bagi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. “Ini adalah jembatan yang kita bangun antara Utara dan Selatan,” tegasnya.
Di balik layar, proses negosiasi berlangsung intens selama berbulan-bulan melalui dua jalur paralel: jalur keuangan yang dipimpin menteri keuangan dan gubernur bank sentral, serta jalur sherpa yang menangani isu-isu non-keuangan dan geopolitik. Para sherpa—yang dinamai sesuai pemandu gunung Everest karena tugasnya “membuka jalan” bagi para pemimpin—berhasil merumuskan bahasa yang cukup fleksibel untuk mengakomodasi posisi Rusia (yang diwakili Maxim Oreshkin) sekaligus tetap mempertahankan prinsip-prinsip Piagam PBB.
Pengamat hubungan internasional dari University of Pretoria, Prof. Siphamandla Zondi, menilai keberhasilan ini sebagai “kemenangan diplomasi Afrika Selatan yang berbasis pada prinsip non-blok dan inklusivitas.” Menurutnya, presidensi Afrika Selatan berhasil memanfaatkan posisinya sebagai satu-satunya wakil tetap benua Afrika di G20 untuk menggeser pusat gravitasi pembahasan dari isu-isu geopolitik Barat-sentris menuju agenda pembangunan dan keadilan ekonomi global.
Meski demikian, deklarasi Johannesburg tidak sepenuhnya bebas dari kompromi. Beberapa kalimat terkait “penghormatan terhadap integritas teritorial dan kedaulatan” dirumuskan dengan bahasa yang memungkinkan interpretasi berbeda oleh berbagai pihak—sebuah teknik diplomasi klasik yang memungkinkan semua negara menandatangani dokumen yang sama tanpa harus mengubah posisi politik domestiknya.
KTT G20 Johannesburg yang berlangsung hingga Minggu (23/11) ini menjadi penanda penting: di tengah narasi tentang “kegagalan multilateralisme” dan munculnya blok-blok rival, forum yang mewakili lebih dari 80% PDB dunia, 75% perdagangan global, dan dua pertiga populasi bumi masih mampu berbicara dengan satu suara—setidaknya di atas kertas.
Keberhasilan ini sekaligus memperkuat posisi Afrika Selatan sebagai aktor yang semakin diperhitungkan dalam arsitektur tata kelola global, sekaligus membuktikan bahwa multilateralisme, meski rapuh, belum mati.
Pewarta : Anjar Bramantyo

