
“Sebagai otoritas pengawas utama GDPR di Uni Eropa, Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC) memiliki mandat untuk memastikan bahwa perusahaan teknologi global yang berkantor pusat di Irlandia mematuhi prinsip-prinsip dasar perlindungan data, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan pembatasan transfer lintas negara.”
(European Data Protection Board, 2022)
RI News Portal. Jakarta, 05-Mei-2025 – Masalah data pribadi kembali menimpa TikTok. Perusahaan induk aplikasi viral tersebut, ByteDance, dijatuhi denda fantastis senilai 530 juta euro atau sekitar Rp9,8 triliun oleh Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC). Alasannya? Pelanggaran berat terhadap aturan perlindungan data Uni Eropa (GDPR).
Dilansir dari Engadget, ini merupakan denda GDPR terbesar ketiga sepanjang sejarah. Rinciannya, 45 juta euro dikenakan karena kurangnya transparansi, sementara 485 juta euro dijatuhkan akibat transfer ilegal data pengguna Eropa ke China.

Dalam keterangan resminya, DPC menuding TikTok mengirim data pengguna Eropa ke China tanpa jaminan keamanan dari pengawasan pemerintah Beijing. Selain denda, TikTok diberi waktu enam bulan untuk menghentikan semua transfer data ilegal tersebut.
Di tengah panasnya isu ini, CEO TikTok Shou Zi Chew dijadwalkan bertemu dengan para petinggi Uni Eropa minggu ini di Brussels, Belgia. Ia akan berdialog dengan Thierry Breton (Kepala Industri UE), Vera Jourova (Kepala Digital UE), dan Didier Reynders (Kepala Antimonopoli UE) pada 6–7 November.
Menurut juru bicara TikTok, Chew akan menjelaskan perkembangan “Project Clover”, inisiatif keamanan data baru yang mengatur penyimpanan data pengguna Eropa secara lokal. Saat ini, TikTok telah memiliki satu pusat data di Dublin dan sedang membangun dua lagi di Irlandia dan Norwegia.
Baca juga : Kelompok Wanita Tani Desa Pokoh Kidul, Kabupaten Wonogiri Budidaya Maggot dari Sampah Rumahan
Pertemuan Chew tak lepas dari sorotan, terutama setelah TikTok dinilai lambat dalam merespons penyebaran disinformasi terkait konflik Hamas–Israel. Selain itu, TikTok juga dikejar tenggat dari Uni Eropa untuk menyerahkan detail perlindungan pemilu dan hak minoritas digital paling lambat 8 November, sebagai bagian dari kepatuhan terhadap regulasi baru Digital Services Act.
DPC mengungkap bahwa hasil investigasi empat tahun menemukan data pengguna Eropa ternyata disimpan di China, bertentangan dengan pernyataan awal TikTok. Parahnya lagi, akses staf di China terhadap data itu dilakukan tanpa verifikasi keamanan yang sesuai standar Eropa.
“Meskipun TikTok bilang data itu sekarang sudah dihapus, kami masih mempertimbangkan apakah perlu ada tindakan lanjutan,” kata Wakil Komisaris DPC, Graham Doyle.
TikTok menyatakan akan mengajukan banding atas keputusan ini. Mereka juga menyayangkan bahwa DPC tidak sepenuhnya mempertimbangkan langkah-langkah terbaru perusahaan, termasuk proyek pusat data lokal sejak 2023.
Namun DPC menegaskan: semua perubahan itu sudah dihitung dalam putusan final.
Bukan kali pertama TikTok tersandung masalah serupa. Tahun lalu, mereka juga didenda Rp6 triliun karena gagal melindungi data remaja pengguna berusia 13–17 tahun.
Uni Eropa pun belum selesai. Investigasi lanjutan masih berjalan terkait masalah algoritma adiktif, verifikasi usia pengguna, hingga peluncuran TikTok Lite tanpa studi risiko di Prancis dan Spanyol.
Pewarta : Yudha Purnama

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal