RI News Portal. Beijing, 23 November 2025 – Menteri Luar Negeri China Wang Yi kembali menegaskan sikap keras pemerintahannya terhadap apa yang disebut sebagai upaya “memutarbalikkan sejarah” oleh kelompok sayap kanan di Jepang serta segala bentuk intervensi eksternal terhadap isu Taiwan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pertemuan diplomatik akhir pekan lalu dan menjadi sorotan karena nada yang sangat tegas sekaligus konteks penundaan pertemuan trilateral bidang kebudayaan China-Jepang-Korea Selatan.
“China tidak akan pernah membiarkan kekuatan sayap kanan Jepang memutar balik roda sejarah, tidak akan membiarkan kekuatan eksternal ikut campur dalam urusan wilayah Taiwan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari China, dan tidak akan membiarkan militerisme Jepang bangkit kembali,” ujar Wang Yi, sebagaimana dikutip kantor berita resmi pemerintah China, Sabtu (22/11).
Pernyataan itu secara eksplisit merujuk pada meningkatnya aktivitas pertahanan Jepang dalam beberapa tahun terakhir—termasuk revisi doktrin pertahanan nasional 2022 yang memperbolehkan kemampuan serangan balik (counterstrike capability), peningkatan anggaran pertahanan hingga mendekati 2% PDB pada 2027, serta partisipasi yang lebih aktif dalam kerangka kerja keamanan Quad dan AUKUS. Bagi Beijing, langkah-langkah tersebut tidak sekadar respons terhadap ancaman regional, melainkan juga merupakan tanda-tanda “normalisasi militer” yang berpotensi mengulang pola ekspansi masa lalu.

Wang Yi juga menekankan pentingnya “menjaga hasil kemenangan Perang Anti-Fasis Dunia dan Perang Resisten Rakyat China terhadap Agresi Jepang”. Frasa ini mengacu pada penilaian resmi Beijing bahwa tatanan pasca-Perang Dunia II—termasuk Deklarasi Kairo 1943 dan Deklarasi Potsdam 1945—telah menetapkan status Taiwan sebagai bagian dari China serta membatasi peran militer Jepang hanya pada pertahanan diri.
Dalam konteks hubungan bilateral, pernyataan Wang disampaikan hanya beberapa hari setelah Kementerian Luar Negeri China mengumumkan penundaan tanpa batas waktu pertemuan menteri kebudayaan trilateral China-Jepang-Korea Selatan yang seharusnya digelar akhir November ini. Penundaan tersebut dikaitkan dengan “situasi yang tidak kondusif” tanpa penjelasan rinci, namun para pengamat menilai langkah itu sebagai sinyal diplomatik atas ketidakpuasan Beijing terhadap sejumlah isu, termasuk kunjungan pejabat Jepang ke Kuil Yasukuni dan pernyataan beberapa politisi Jepang yang mempertanyakan status quo Selat Taiwan.
Sikap keras China kali ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan regional. Pada Oktober lalu, Jepang menggelar latihan militer bersama dengan Amerika Serikat dan Australia di Laut China Timur, sementara Perdana Menteri Fumio Kishida dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa “keamanan Taiwan adalah keamanan Jepang”. Bagi Beijing, narasi tersebut dianggap sebagai bentuk provokasi yang melanggar prinsip Satu China yang telah menjadi konsensus internasional sejak Resolusi Majelis Umum PBB 2758 tahun 1971.
Baca juga : JPKP DPW Jawa Tengah Mulai Susun Langkah Tuan Rumah Rakernas 2026
Para analis hubungan internasional menilai pernyataan Wang Yi tidak hanya ditujukan kepada Tokyo, tetapi juga kepada Washington dan sekutunya yang terus mendorong keterlibatan lebih besar di Indo-Pasifik. Dengan menyinggung “militerisme Jepang” dan “memutar balik roda sejarah”, Beijing berupaya mempertahankan narasi historis yang selama ini menjadi legitimasi politiknya sekaligus memperingatkan bahwa setiap upaya melemahkan prinsip Satu China akan mendapat respons tegas.
Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Luar Negeri Jepang belum mengeluarkan tanggapan resmi atas pernyataan Wang Yi. Namun, sumber di Tokyo menyebutkan pemerintah Jepang “sangat menyayangkan” penundaan pertemuan trilateral kebudayaan dan tetap berkomitmen pada dialog konstruktif dengan China meskipun terdapat perbedaan pandangan yang tajam.
Pewarta : Anjar Bramantyo

