
RI News Portal. Aceh Barat, 18 Oktober 2025 – Dalam respons cepat terhadap bencana alam yang melumpuhkan mobilitas warga, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat telah mengerahkan alat berat untuk menangani kerusakan total ruas jalan lintas kecamatan di Desa Ranto Panyang Timur, Kecamatan Meureubo. Insiden ini, yang dipicu oleh curah hujan ekstrem sejak Jumat sore, tidak hanya mengisolasi komunitas lokal tetapi juga menyoroti kerentanan infrastruktur pedesaan terhadap perubahan iklim di wilayah barat Sumatera.
Bupati Aceh Barat, Tarmizi, menegaskan komitmen penuh pemerintah daerah dalam wawancara eksklusif. “Kami sudah mengerahkan satu unit alat berat untuk penanganan darurat sejak Sabtu dini hari. Akses ini krusial bagi 5.000 jiwa di kecamatan terpencil ini,” ujarnya. Kerusakan parah terjadi akibat longsor badan jalan yang tergerus banjir bandang, ditambah runtuhnya box culvert yang telah retak sejak 2023. Tinggi curah hujan mencapai 150 milimeter dalam 12 jam, menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), melebihi ambang batas aman infrastruktur setempat.
Sebagai langkah sementara, tim teknis memasang batang pohon kelapa sebagai jembatan darurat, memungkinkan warga melintas dengan kendaraan ringan. “Ini solusi inovatif berbasis sumber daya lokal, terinspirasi praktik adat Aceh dalam mengatasi musim hujan,” tambah Tarmizi. Namun, solusi ini hanya bertahan maksimal seminggu, mengingat prediksi hujan lebat berlanjut hingga akhir pekan.

Penelitian terbaru dari Pusat Studi Bencana Universitas Syiah Kuala (USK) mengungkap bahwa putusnya akses jalan seperti ini meningkatkan risiko kemiskinan pedesaan hingga 25 persen dalam enam bulan pasca-bencana. Di Ranto Panyang Timur, yang bergantung pada perkebunan kelapa sawit dan perikanan, kerugian ekonomi harian diperkirakan mencapai Rp500 juta. Petani seperti Rahman (45), warga setempat, melaporkan, “Hasil panen kami busuk di kebun karena tak bisa ke pasar. Anak-anak sekolah pun terhambat.”
Secara akademis, kasus ini mencerminkan pola kerentanan struktural di Aceh Barat. Studi jurnal Jurnal Geografi dan Bencana (2024) oleh Dr. Cut Intan, dosen USK, menemukan bahwa 70 persen box culvert di pesisir barat rusak prematur akibat erosi tanah vulkanik dan peningkatan intensitas hujan sebesar 30 persen sejak 2015—efek domino pemanasan global. “Retak pada culvert dua tahun lalu adalah peringatan dini yang diabaikan. Perbaikan permanen harus integrasikan desain tahan iklim, seperti beton bertulang dengan drainase bio,” sarankan Intan dalam analisisnya.
Aspek Dampak | Estimasi Kerugian | Solusi Jangka Panjang |
---|---|---|
Ekonomi | Rp3 miliar/bulan | Diversifikasi pasar digital |
Sosial | 20% absensi sekolah | Program belajar mobile |
Lingkungan | Erosi 2 ha lahan | Penanaman mangrove |
Pemkab Aceh Barat merencanakan perbaikan permanen mulai akhir Oktober 2025, dengan anggaran Rp15 miliar dari APBD dan dana hibah nasional. Proyek mencakup pembangunan ulang 2 kilometer badan jalan beraspal tebal 20 cm, plus box culvert baru berstandar SNI tahan banjir 200 tahun. Kolaborasi dengan USK akan menyertakan pemantauan IoT untuk deteksi dini erosi.
Tarmizi menekankan pendekatan holistik: “Kami tak hanya bangun jalan, tapi bangun ketahanan masyarakat. Pelatihan mitigasi banjir untuk 500 warga dimulai minggu depan.” Inisiatif ini selaras dengan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) 2025-2030, yang menargetkan nol isolasi desa akibat bencana di Sumatra.
Kasus Ranto Panyang Timur menjadi studi kasus berharga bagi kebijakan nasional. Seperti ditegaskan Prof. em. Ali Hasjrat dari USK, “Bencana ini bukan sekadar longsor, tapi panggilan untuk reformasi infrastruktur pedesaan. Aceh Barat bisa jadi model resiliensi bagi Indonesia Timur.”
Pemulihan darurat berjalan lancar hari ini, dengan lalu lintas semi-normal. Masyarakat diimbau tetap waspada, sementara pemerintah daerah berupaya memastikan tak ada lagi ‘jalan mati’ di masa depan.
Pewarta : Jaulim Saran
