
RI News Portal. Subulussalam — Transparansi pengelolaan anggaran daerah kembali menjadi sorotan setelah media daring Lamuri.id mempublikasikan rincian belanja untuk Wali Kota Subulussalam Tahun Anggaran 2025. Berdasarkan dokumen penjabaran resmi Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK) Subulussalam, total dana yang dialokasikan untuk kebutuhan gaji dan operasional Wali Kota mencapai angka mencolok: Rp1,83 miliar.
Ironisnya, belanja besar tersebut muncul di tengah situasi keuangan Subulussalam yang sedang mengalami defisit fiskal sebesar Rp244 miliar.
Mengacu pada data yang dipublikasikan, berikut adalah rincian komponen anggaran untuk Wali Kota:
- Gaji Pokok: Rp54.200.729
- Tunjangan Keluarga: Rp8.437.800
- Tunjangan Jabatan: Rp100.737.000
- Tunjangan Beras: Rp9.353.043
- Belanja Rumah Tangga: Rp765.000.000
- Tunjangan Khusus: Rp1.860.000
- Biaya Pakaian Dinas: Rp89.200.000
- Biaya Cek Kesehatan: Rp90.000.000
- Dana Operasional: Rp430.000.000
- Biaya Iklan, Reklame, dan Pemotretan: Rp290.000.000

Dari total tersebut, sebagian besar beban belanja—yakni Rp1,5 miliar—terekam dalam pos anggaran Bagian Umum Sekretariat Daerah, sementara pos iklan dan pemotretan sebesar Rp290 juta tercatat di Bagian Humas dan Protokoler.
Kepala Bagian Umum, Khairulsyah, ketika dikonfirmasi oleh media menyatakan bahwa anggaran pakaian dinas dan cek kesehatan tersebut merupakan alokasi gabungan antara Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Namun, hingga berita ini diturunkan, tidak ada klarifikasi lebih lanjut dari pihak Bagian Humas dan Protokoler terkait anggaran iklan dan pemotretan sebesar Rp290 juta. Upaya konfirmasi melalui saluran resmi WhatsApp juga tidak memperoleh respons.
Pengalokasian dana sebesar itu menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik dan pengamat kebijakan fiskal, mengingat pemerintah pusat—melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan—sedang gencar mengampanyekan efisiensi anggaran di semua level pemerintahan, terutama di tengah ketidakstabilan fiskal nasional dan meningkatnya kebutuhan pembangunan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik.
Baca juga : Dominasi Strategi McLaren di Hungaroring: Norris Juara GP Hungaria 20
Dalam perspektif etika publik, pembengkakan anggaran untuk kebutuhan personal kepala daerah, yang mencakup pos tidak langsung seperti pemotretan atau biaya rumah tangga, dapat dianggap tidak sejalan dengan prinsip keadilan distributif dan asas kemanfaatan anggaran negara. Hal ini dapat merusak citra pemerintahan daerah sebagai entitas pelayan publik dan menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Situasi ini menunjukkan perlunya penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal atas belanja daerah, termasuk optimalisasi peran Inspektorat Daerah, BPK, serta pelibatan masyarakat sipil dalam proses transparansi anggaran. Selain itu, perlu ditegaskan kembali implementasi prinsip value for money dalam belanja publik—yakni bahwa setiap rupiah anggaran harus memberikan nilai maksimal bagi kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks akademis dan kebijakan, kasus ini dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut mengenai praktik fiskal populisme, lemahnya sistem pengendalian internal, serta budaya patronase dalam birokrasi lokal.
Pewarta : Jaulin Saran
