
RI News Portal. Melawi, Agustus 2025 – Ratusan warga dari berbagai desa di Kabupaten Melawi menggelar aksi damai di depan Kantor Bupati. Tuntutan mereka sederhana namun sarat makna: pencabutan plang penyegelan yang dipasang Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Plang-plang itu, meski hanya berbentuk papan bertuliskan larangan, telah menjadi simbol ketidakpastian hidup bagi para petani. Suhaili, Kepala Desa Nanga Nyuruh yang turut memimpin aksi, menegaskan bahwa warga tidak menolak program penertiban kawasan hutan. Namun ia mengingatkan, kebijakan itu tidak boleh menegasikan janji pemerintah pusat bahwa lahan yang telah lama digarap rakyat harus dilepaskan untuk kepentingan masyarakat.
“Petani kami stres, resah, karena kebun yang mereka tanami karet, jengkol, padi, hingga sawit mandiri tiba-tiba dipasang plang. Padahal janji menteri jelas: jika memang rakyat yang menggarap, maka lahan harus dilepaskan untuk rakyat,” ujarnya.

Kasus ini bukan sekadar persoalan papan plang, melainkan menyangkut ketahanan hidup petani lokal. Sejumlah desa, seperti Nusa Pandau, Pelempai Jaya, Bemban Permai, Kahiya, Nanga Kalan, Domet, dan Bina Jaya, menggantungkan perekonomiannya pada kebun yang kini berstatus “lahan bermasalah”.
Di sisi lain, masyarakat tidak menampik bahwa lahan tersebut berada di kawasan hutan produksi. Namun narasi yang mereka bangun adalah narasi keadilan: perusahaan pemegang izin seperti PT Inhutani I dianggap menelantarkan lahan, sementara rakyat dengan tenaga dan modal terbatas justru mengolahnya.
Fenomena ini memperlihatkan dilema klasik agraria di Indonesia: ketika negara berhadapan dengan rakyat kecil dalam pengelolaan ruang hidup, selalu ada tarik-menarik antara legalitas formal (izin perusahaan, status kawasan hutan) dan legitimasi moral (hak rakyat yang bekerja untuk bertahan hidup).
Bupati Melawi, Dadi Sunarya, merespons aksi dengan pendekatan kompromi. Ia berjanji segera berkoordinasi dengan Gubernur Kalimantan Barat dan mengupayakan dialog bersama Satgas PKH. “Saya minta minggu depan sudah ada audiensi. Kami akan libatkan DPRD, bahkan Kejaksaan, mengingat Satgas ini berinduk di Jampidsus Kejagung,” katanya.
Baca juga : Robo-robo di Pontianak Timur: Antara Ritual Keagamaan, Kearifan Lokal, dan Identitas Budaya
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa isu ini bukan semata konflik lokal, melainkan terkait struktur birokrasi hukum yang lebih luas. Satgas PKH memiliki mandat pusat untuk menertibkan kawasan hutan, tetapi di tingkat daerah, mandat itu beririsan dengan hak konstitusional warga.
Dalam perspektif hukum agraria, sengketa ini menyentuh Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah penertiban kawasan hutan lebih berpihak pada korporasi pemegang izin atau pada rakyat kecil yang bergantung pada tanah tersebut?
Warga berharap ada mekanisme pelepasan kawasan hutan produksi menjadi tanah rakyat, sebagaimana janji pemerintah pusat. Mereka menuntut kepastian hukum agar tidak terus hidup dalam bayang-bayang penggusuran.
Kasus Melawi sesungguhnya bisa menjadi laboratorium kebijakan nasional tentang reforma agraria. Di satu sisi, negara perlu menjaga kelestarian hutan dan memastikan tidak ada perambahan ilegal. Namun di sisi lain, negara juga tidak boleh mengabaikan realitas sosial bahwa ribuan keluarga menggantungkan hidup pada tanah yang secara de jure bukan milik mereka, tetapi secara de facto telah mereka kelola puluhan tahun.
Jika tidak ada solusi adil, penyegelan lahan berisiko memperlebar jurang konflik antara negara dan rakyat. Dialog multi-pihak – melibatkan pemerintah pusat, daerah, Satgas PKH, DPRD, akademisi, dan perwakilan petani – menjadi jalan tengah yang mendesak ditempuh.
Pewarta : Lisa Susanti
