RI News Portal. Purwantoro, Wonogiri – Proyek penggalian untuk instalasi pengolahan air limbah (IPAL) rumah sakit di Kecamatan Purwantoro, Wonogiri, yang berada di pinggir jalan penghubung antarprovinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, menuai sorotan tajam karena diduga mengabaikan standar keselamatan kerja dan pengamanan lalu lintas. Pengamatan lapangan pada 15 Desember 2025 menunjukkan bahwa tanah galian ditempatkan di bahu jalan, menyebabkan gangguan signifikan bagi pengguna jalan yang melintas.
Proyek ini melibatkan pemasangan pipa bawah tanah untuk pembuangan limbah rumah sakit setempat. Namun, lokasi galian yang berada tepat di sisi jalan utama tanpa pengamanan memadai berpotensi menimbulkan risiko kecelakaan, baik bagi pekerja maupun pengendara. Tidak adanya police line, rambu peringatan, atau papan informasi proyek semakin memperburuk situasi, terutama mengingat progres pekerjaan telah mencapai sekitar 50 persen.
Pekerja di lokasi juga dilaporkan tidak dilengkapi alat pelindung diri (APD) standar, seperti helm, sepatu safety, atau rompi pengaman. Seorang pekerja yang enggan disebut namanya menyatakan bahwa fasilitas keselamatan dan jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan tidak disediakan secara memadai. Pengawas lapangan mengakui keterbatasan ini, dengan alasan kurangnya arahan dari pihak kontraktor utama. Upaya pemasangan papan proyek baru direncanakan setelah progres signifikan tercapai, yang menimbulkan pertanyaan tentang prioritas keselamatan sejak awal.

Kelalaian ini tidak hanya mengganggu kelancaran lalu lintas, tetapi juga membahayakan nyawa. Tanah galian yang menumpuk di bahu jalan dapat menyebabkan pengendara tergelincir, sementara absennya rambu pengaman gagal memberikan peringatan dini bagi pengguna jalan yang melintas dengan kecepatan tinggi di rute antarprovinsi tersebut.
Kasus ini mencerminkan potensi pelanggaran terhadap beberapa peraturan utama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta pengelolaan konstruksi jalan. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja masih menjadi dasar historis yang menekankan perlindungan tenaga kerja dari bahaya di tempat kerja, regulasi terkini lebih komprehensif melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 86-87), yang mewajibkan pemberi kerja menyediakan lingkungan kerja aman, termasuk APD dan sistem manajemen risiko.

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) mengharuskan perusahaan dengan risiko tinggi—seperti proyek konstruksi—mengimplementasikan identifikasi bahaya, pengendalian risiko, dan pelatihan K3. Dalam konteks konstruksi jalan, Peraturan Menteri PUPR terkait Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi menekankan kewajiban pengamanan lokasi, termasuk pemasangan rambu dan pembatas untuk melindungi publik.
Baca juga : Respons Cepat Aparat Kepolisian Cegah Dampak Lebih Luas dari Kecelakaan Tunggal di Jalur Wonogiri-Selogiri
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan mewajibkan penyelenggara proyek menjaga kelancaran dan keselamatan lalu lintas selama konstruksi, termasuk pemasangan rambu sementara yang mudah dipindahkan. Absennya elemen-elemen ini dapat dianggap sebagai pengabaian kewajiban preventif untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Aspek keterbukaan informasi juga relevan, meskipun proyek ini bersifat swasta atau semi-publik. Jika melibatkan dana publik atau dampak lingkungan signifikan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengharuskan penyediaan informasi dasar proyek kepada masyarakat, seperti melalui papan informasi, untuk memastikan akuntabilitas dan partisipasi publik.
Pelaku utama—kontraktor pelaksana dan pengawas proyek—berpotensi menghadapi sanksi bertingkat. Secara administratif, pelanggaran K3 dapat mengakibatkan teguran tertulis, pembatasan kegiatan, hingga penghentian sementara operasi oleh inspektur Kemnaker atau dinas terkait, sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 190.

Jika kelalaian menyebabkan kecelakaan dengan korban jiwa atau luka berat, ancaman pidana menjadi lebih serius. Meskipun sanksi dalam UU 1/1970 relatif ringan (kurungan maksimal 3 bulan atau denda Rp100.000), kasus berat dapat dirujuk ke ketentuan pidana umum tentang kelalaian (Pasal 359 KUHP) atau tuntutan perdata ganti rugi dari korban. Praktik terkini menunjukkan denda administratif hingga ratusan juta rupiah, serta pencabutan izin usaha untuk pelanggaran berulang.
Kasus serupa di sektor konstruksi sering berujung pada audit mendalam dan tuntutan efek jera, mengingat prioritas nasional pada pencegahan kecelakaan kerja. Pengabaian sistematis terhadap SMK3 dapat memperburuk posisi hukum pelaku, dengan risiko tuntutan dari pekerja atau masyarakat terdampak.
Proyek infrastruktur seperti ini seharusnya menjadi contoh penerapan standar tinggi, bukan sumber risiko baru. Diperlukan intervensi cepat dari otoritas setempat untuk memastikan kepatuhan, demi keselamatan bersama.
Pewarta : Nandan Bramantyo

