RI News Portal. Astana – Majelis Rendah Parlemen Kazakhstan (Mazhilis) resmi mengesahkan amandemen Kode Pelanggaran Administratif yang memperkenalkan sanksi administratif bagi penggunaan pakaian yang menutupi seluruh wajah – termasuk niqab dan cadar – di tempat-tempat umum. Pengesahan ini dilakukan pada Rabu (3 Desember 2025) dan langsung berlaku setelah ditandatangani presiden.
Berdasarkan perubahan pasal baru, siapa pun yang mengenakan penutup wajah yang menghambat proses identifikasi di fasilitas publik, transportasi, atau ruang terbuka dapat dikenai sanksi. Pelanggaran pertama akan mendapat peringatan tertulis, sedangkan pelanggaran berulang dalam kurun waktu satu tahun dikenai denda sebesar 10 indeks perhitungan bulanan (Monthly Calculation Index/MCI), setara sekitar US$77,8 atau Rp1,28–1,3 juta (kurs saat ini).
Amandemen ini melengkapi Undang-Undang Pencegahan Kejahatan yang telah ditandatangani Presiden Kassym-Jomart Tokayev pada 30 Juni 2025. UU tersebut secara eksplisit melarang “pakaian atau aksesoris yang menghalangi pengenalan identitas wajah di tempat umum”, dengan pengecualian ketat hanya untuk alasan medis (misalnya masker bedah pasca-operasi), kondisi cuaca ekstrem, atau pelaksanaan tugas dinas resmi.

Dukungan terhadap kebijakan ini datang dari Administrasi Spiritual Muslim Kazakhstan (DUMK), lembaga resmi yang mengawasi urusan keagamaan umat Islam di negara itu. Dalam pernyataan resminya pada Juli lalu, DUMK menegaskan bahwa larangan ini tidak dimaksudkan sebagai pembatasan praktik beragama, melainkan langkah preventif untuk meningkatkan keamanan publik dan memudahkan identifikasi individu di tengah ancaman terorisme serta kejahatan terorganisir.
“Islam tidak mewajibkan penutup wajah secara mutlak di semua situasi. Keselamatan jiwa dan harta adalah prinsip yang lebih tinggi dalam syariat,” demikian bunyi salah satu poin pernyataan DUMK, yang menegaskan bahwa mayoritas ulama mazhab Hanafi – yang menjadi rujukan dominan di Asia Tengah – memperbolehkan wajah tetap terbuka di tempat umum.
Langkah Kazakhstan ini menempatkan negara tersebut sejajar dengan beberapa negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah yang telah lebih dulu menerapkan regulasi serupa, meski dengan gradasi yang berbeda. Di Kazakhstan, pendekatan yang diambil bersifat administratif dan bertahap (peringatan terlebih dahulu), bukan langsung pidana, sehingga dianggap lebih moderat dibandingkan larangan total di beberapa negara lain.
Baca juga : 140 Anak Gaza Kembali ke Rumah setelah Menyelesaikan Perawatan Medis Komprehensif di Yordania
Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari strategi nasional jangka panjang untuk memperkuat sistem identifikasi biometrik, pengawasan CCTV, dan pencegahan aksi radikalisme yang kerap memanfaatkan penutup wajah sebagai sarana penyembunyian identitas.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons resmi dari kelompok masyarakat sipil atau organisasi hak asasi yang menentang kebijakan tersebut. Diskusi publik selama masa sosialisasi RUU menunjukkan tingkat penerimaan yang relatif tinggi di kalangan masyarakat urban, terutama di kota-kota besar seperti Almaty dan Nur-Sultan (Astana).
Dengan disahkannya amandemen ini, Kazakhstan mempertegas posisinya sebagai negara sekuler dengan pendekatan pragmatis dalam mengelola keragaman budaya dan agama di tengah tantangan keamanan kontemporer.
Pewarta : Setiawan Wibisono

