Namun Ruang Sipil yang Menyempit dan Reformasi Polri Menjadi Tantangan Krusial
RI News Portal. Jakarta, 3 Desember 2025 – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai wujud konkret kehadiran negara dalam melindungi hak asasi manusia yang selama ini berada dalam zona abu-abu regulasi.
“Keberadaan dua undang-undang ini menunjukkan kemajuan normatif yang sangat signifikan dalam penegakan HAM di Indonesia,” ungkap Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam wawancara khusus pada Selasa (2/12) di Jakarta.
Namun, Anis menggarisbawahi bahwa keberadaan regulasi baru tidak serta-merta menghilangkan kerentanan masyarakat terhadap pelanggaran HAM. “Kita masih menyaksikan kasus kekerasan seksual yang terus berulang, penyalahgunaan data pribadi yang masif, serta berbagai bentuk intimidasi lainnya. Regulasi saja tidak cukup tanpa implementasi yang konsisten dan pengawasan yang ketat,” tegasnya.

Menurut Anis, UU PDP menjadi sangat krusial mengingat selama puluhan tahun hak privasi warga negara practically tidak memiliki payung hukum yang memadai di era digital. Sementara UU TPKS memberikan definisi yang lebih luas dan perlindungan yang lebih tegas terhadap korban kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak-anak yang selama ini sering terjebak dalam celah hukum acara pidana umum.
Di balik kemajuan tersebut, Komnas HAM mencatat adanya tren penyempitan ruang sipil yang semakin mengkhawatirkan. “Kami mencatat kecenderungan kriminalisasi terhadap pembela HAM, aktivis lingkungan, jurnalis, dan masyarakat yang menyuarakan pendapat secara kritis. Ini berpotensi mengulang pola pelanggaran HAM sistemik di masa lalu,” ujar Anis.
Ia menghubungkan fenomena tersebut dengan kebutuhan reformasi institusi penegak hukum, khususnya Kepolisian Republik Indonesia. Saat ini pemerintah tengah membentuk Tim Percepatan Reformasi Polri pasca-tragedi Kanjuruhan dan serangkaian kasus lain yang mencoreng citra kepolisian.
Baca juga : Sinergi Polri dan Tokoh Agama Wonogiri Wujudkan Natal Damai 2025 melalui Pendekatan Dialog Preventif
“Reformasi Polri bukan sekadar kosmetik. Polri adalah garda terdepan penegakan hukum sehari-hari. Jika proses hukum tetap membawa rasa takut bagi masyarakat, terutama bagi yang menyuarakan kebenaran, maka pemenuhan HAM akan terus terhambat,” tegas Anis.
Komnas HAM berharap reformasi Polri tidak hanya berfokus pada aspek teknis operasional, melainkan juga pada perubahan budaya institusi yang berorientasi pada penghormatan HAM, akuntabilitas, dan pendekatan yang berkeadilan gender serta ramah anak.
“Keberhasilan reformasi Polri akan menjadi indikator utama apakah Indonesia benar-benar serius melangkah menuju negara hukum yang menempatkan martabat manusia sebagai prioritas tertinggi,” pungkas Anis Hidayah.
Pernyataan ini menegaskan bahwa meskipun fondasi normatif HAM terus diperkuat melalui UU PDP dan UU TPKS, tantangan implementasi, perlindungan ruang sipil, dan transformasi institusi penegak hukum tetap menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan saat ini dan di masa mendatang.
Pewarta : Anjar Bramantyo

