RI News Portal. Yogyakarta – Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Hindun Anisah, menilai tata kelola desa di Indonesia saat ini masih terjebak dalam kerangka dualisme mendasar: desa diperlakukan sekaligus sebagai komunitas sosiologis-kultural yang otonom dan sebagai subsistem administratif pemerintahan nasional. Kondisi ini, menurutnya, diperparah oleh pengaturan yang melibatkan tiga kementerian sekaligus — Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Kementerian Keuangan — yang justru memunculkan tumpang tindih kewenangan dan fragmentasi kebijakan.
“Karena banyak kementerian yang mengatur desa, maka terjadi overlapping authority dan implementasi program yang saling bertabrakan,” ujar Hindun dalam pernyataan tertulisnya usai menjadi pembicara kunci pada Focus Group Discussion bertajuk “Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah dan Desa” yang digelar di Yogyakarta, Senin (1/12).
Hindun menyoroti bahwa Bab VI Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur pemerintahan daerah hingga kini belum sepenuhnya menjawab tantangan zaman. Rumusan konstitusional yang menekankan hubungan seimbang antara pusat dan daerah dalam hal kewenangan, kelembagaan, pembiayaan, dan pengawasan, dalam praktiknya masih menghadapi tarik-menarik kepentingan yang kronis.

“Implementasi di lapangan menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang terus berulang. Kita perlu mengevaluasi apakah ketentuan tersebut masih ideal atau memerlukan penajaman lebih lanjut,” tandasnya.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, yang juga menjadi narasumber dalam forum yang sama, memberikan catatan yang lebih bernuansa. Menurutnya, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa — yang kemudian direvisi melalui UU Nomor 3 Tahun 2024 — telah berhasil “menghidupkan” kembali desa sebagai ruang partisipasi publik.
“Undang-undang tersebut memicu gelombang partisipasi masyarakat, pertumbuhan ekonomi lokal, kerja sama antar-desa, serta inovasi komunitas yang berbasis kewargaan. Demokrasi di tingkat desa benar-benar memiliki nadi,” kata Arie.
Namun, kemajuan tersebut, lanjut Arie, kini terancam oleh ekspansi birokrasi yang berlebihan. Pembengkakan teknokrasi di tingkat daerah dan desa telah mengakibatkan birokratisasi dan instrumentalisasi yang sistematis, sehingga kewenangan asli desa secara perlahan terkikis dan tersedot ke atas melalui mekanisme “sinkronisasi” dan “justifikasi administrasi keuangan”.
“Program serupa dari dua kementerian berbeda sering kali hadir dengan pendekatan yang tidak sinkron, bahkan kontradiktif. Akibatnya, birokrasi desa menjadi bingung dan masyarakat akhirnya yang menjadi korban,” ungkap Arie.
Diskusi yang dihadiri akademisi, praktisi pemerintahan desa, dan pegiat otonomi daerah ini menyepakati bahwa tanpa penyelesaian mendasar atas dualisme konseptual dan kelembagaan tersebut, agenda pemberdayaan desa akan terus terhambat oleh tarik-menarik kepentingan pusat-daerah serta fragmentasi kebijakan sektoral.
Para peserta mendorong agar evaluasi menyeluruh terhadap pengaturan desa dilakukan melalui forum konstitusional, sekaligus merekomendasikan penyederhanaan koordinasi antarkementerian agar desa tidak lagi menjadi “bola liar” dalam arsitektur pemerintahan nasional.
Pewarta : Rendro P

