RI News Portal. Jakarta, 29 November 2025 – Ambisi Indonesia mencapai swasembada energi pada 2035 semakin terancam akibat mandeknya revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Lebih dari tiga belas tahun setelah Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 menyatakan sejumlah pasal dalam UU tersebut inkonstitusional dan membubarkan BP Migas, nasib pengganti permanen lembaga regulator hulu migas masih menggantung.
Ketiadaan kepastian bentuk badan pengelola hulu migas yang sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 menjadi penghambat utama masuknya investasi besar, terutama di bidang eksplorasi, yang menjadi kunci peningkatan produksi nasional jangka panjang.
Hingga Agustus 2025, realisasi investasi hulu migas secara keseluruhan mencapai 8,9 miliar dolar AS atau setara Rp147,96 triliun, mendekati separuh dari target tahunan 16,5–16,9 miliar dolar AS. Namun, angka tersebut menyembunyikan fakta mencemaskan: investasi eksplorasi baru terealisasi sekitar 500 juta dolar AS dari target 1,5 miliar dolar AS sepanjang 2025, turun tajam dibandingkan capaian 2024 yang mencapai 1,3 miliar dolar AS.
“Tanpa eksplorasi masif, tidak ada cara lain untuk menahan laju penurunan alamiah (natural decline) sumur-sumur existing dan menambah cadangan baru,” tegas Nanang Abdul Manaf, Ketua Satuan Tugas Percepatan Peningkatan Produksi Migas, dalam berbagai kesempatan.

Pemerintah telah meluncurkan serangkaian insentif, mulai dari reformasi fiskal, percepatan perizinan, hingga penawaran wilayah frontier. Kementerian ESDM bahkan telah menyiapkan 75 blok migas baru yang siap ditawarkan melalui mekanisme lelang reguler maupun penugasan langsung. Minat investor pun terlihat nyata: Shell bersama KUFPEC (Kuwait Foreign Petroleum Exploration Company) mengajukan joint study untuk lima wilayah kerja, sementara Chevron juga dikabarkan sedang menjajaki peluang kembali ke Indonesia.
Namun, semua sinyal positif itu terbentur satu tembok besar: ketidakpastian bentuk regulator permanen pasca-putusan MK 2012.
Saat ini SKK Migas hanya berdiri berdasarkan Perpres 95/2012, status sementara yang tidak memberikan rasa aman bagi investor yang harus mengucurkan dana puluhan hingga ratusan miliar dolar AS dalam siklus 10–30 tahun atau lebih. Investor membutuhkan kejelasan siapa yang akan menjadi counterpart mereka dalam kontrak kerja sama jangka panjang: apakah BUMN khusus yang independen, Pertamina yang diperluas kewenangannya, atau lembaga di bawah Kementerian ESDM dengan bentuk baru.
Opsi menempatkan fungsi regulator di bawah Pertamina memunculkan kekhawatiran konflik kepentingan. “Pertamina akan menjadi pemain sekaligus wasit. Bagaimana KKKS lain bisa percaya kebijakan akan adil?” ungkap sumber senior dari salah satu kontraktor besar yang enggan disebut namanya.
Sebaliknya, pengamat energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyarankan pembentukan BUMN khusus hulu migas yang independen, tidak berada di bawah kementerian teknis maupun BUMN existing. “Keputusan akan lebih cepat, akuntabilitas lebih tinggi, dan tidak ada tarik-menarik kepentingan kementerian,” katanya.
Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto berlalu, RUU Migas yang sempat masuk Prolegnas Prioritas 2024–2025 hingga kini belum juga masuk tahap pembahasan substantif di DPR. Padahal, setiap tahun penundaan berarti hilangnya potensi investasi eksplorasi miliaran dolar dan penundaan penemuan cadangan baru yang dibutuhkan untuk menjaga produksi di atas 1 juta barel minyak per hari dan 12.000 MMSCFD gas bumi hingga akhir dekade depan.

Sementara itu, ladang-ladang mature seperti Cepu, Duri, dan Minas terus mengalami penurunan produksi 10–15 persen per tahun. Tanpa tambahan cadangan signifikan dari eksplorasi, target lifting 2030 yang ditetapkan 1 juta barel minyak dan 2035 mendekati 1,2–1,3 juta barel menjadi semakin sulit dicapai.
Di tengah dunia berlomba-lomba mengamankan pasokan energi transisi, Indonesia justru berisiko kehilangan momentum karena terjebak dalam perdebatan kelembagaan yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Kepastian bentuk regulator hulu migas bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan prasyarat politik dan ekonomi untuk mewujudkan swasembada energi yang selama ini hanya menjadi slogan.
Jika RUU Migas tidak kunjung disahkan dalam satu hingga dua tahun ke depan, bukan tidak mungkin investor raksasa yang kini mengantre akan berpaling ke negara tetangga yang menawarkan kepastian hukum lebih baik, meninggalkan Indonesia dengan ladang-ladang tua yang terus menipis dan mimpi swasembada yang semakin menjauh.
Pewarta : Yudha Purnama

