RI News Portal. Jakarta – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menegaskan bahwa peristiwa kekerasan fisik antarpeserta didik di sebuah SMP di Purworejo, Jawa Tengah, yang terekam dan menyebar luas di media sosial, mencerminkan ancaman ganda: kekerasan langsung di dunia nyata dan kerentanan anak terhadap eksploitasi konten di dunia digital.
“Rekaman yang beredar itu bukan sekadar dokumentasi kekerasan, melainkan juga menjadi alat viktimisasi sekunder bagi korban dan pelaku yang sama-sama masih anak,” ujar Menteri Arifah Fauzi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (24/11/2025).
Menurutnya, penyebaran video kekerasan tersebut telah memperluas dampak psikologis, tidak hanya pada korban yang mengalami luka fisik, tetapi juga pada pelaku yang kini menghadapi tekanan publik di usia yang masih sangat rentan. Hal ini, lanjutnya, menunjukkan urgensi penguatan literasi digital sebagai bagian integral dari pencegahan kekerasan anak.
Kementerian PPPA, melalui koordinasi intensif dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Purworejo, memastikan korban telah mendapat pendampingan psikolog klinis dan pemeriksaan medis lengkap termasuk CT scan. Proses hukum terhadap pelaku yang masih di bawah umur juga diawasi ketat agar tetap berjalan sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

“Pendekatan restoratif tetap menjadi prioritas, namun kita tidak boleh abai bahwa penyebaran video telah menciptakan trauma baru yang bersifat permanen karena sifat internet yang tidak pernah benar-benar menghapus jejak,” tegas Menteri Arifah.
Ia menekankan bahwa pencegahan kekerasan anak di era digital tidak lagi cukup dengan penguatan pengawasan fisik di sekolah, melainkan harus diimbangi dengan pendidikan yang mengajarkan tiga kompetensi utama: pengelolaan emosi, pemahaman batas privasi orang lain, dan kesadaran konsekuensi hukum serta etika dari tindakan merekam dan menyebarkan konten kekerasan.
“Prinsip ‘saring sebelum sharing’ dan ‘caring sebelum recording’ harus menjadi kebiasaan baru bagi anak-anak kita,” imbuhnya.
Menteri juga mengajak guru dan orang tua untuk bertransformasi dari sekadar pengawas menjadi pendamping aktif dalam membentuk pola interaksi digital yang sehat. Ia menyoroti bahwa banyak kasus kekerasan sekolah yang terekam justru dilakukan oleh teman sebaya yang hadir di lokasi, menunjukkan masih rendahnya empati digital di kalangan anak.
Untuk mendorong pelaporan yang lebih cepat, Kementerian PPPA kembali mengingatkan masyarakat bahwa layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 tersedia 24 jam melalui telepon, WhatsApp 08111-129-129, maupun laman laporsapa129.kemenpppa.go.id.
“Setiap laporan adalah langkah nyata menyelamatkan anak dari lingkaran kekerasan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di balik layar gawai,” tutup Menteri Arifah Fauzi.
Peristiwa di Purworejo ini menambah daftar panjang kasus kekerasan anak yang menjadi viral dalam dua tahun terakhir, sekaligus menjadi pengingat bahwa perlindungan anak kini harus berjalan di dua ranah sekaligus: dunia fisik dan dunia maya yang semakin tak terpisahkan.
Pewarta : Albertus Parikesit

