RI News Portal. Washington, 17 November 2025 – Presiden Donald Trump secara mengejutkan membalikkan sikapnya terkait kasus Jeffrey Epstein, dengan mendesak anggota Partai Republik di Kongres untuk menyetujui pelepasan berkas-berkas rahasia yang selama ini menjadi sumber kontroversi. Pernyataan ini, yang disampaikan melalui pesan pribadinya pada Senin pagi, menandai pergeseran tajam dari posisinya sebelumnya, di mana ia justru mengecam keras rekan-rekannya yang mendukung transparansi dokumen tersebut. Analisis awal menunjukkan bahwa langkah ini lebih didorong oleh dinamika internal partai daripada komitmen murni terhadap keadilan, di tengah tekanan dari basis pendukung yang semakin vokal menuntut akuntabilitas.
Dalam pesan yang dipostingnya, Trump menyatakan, “Anggota DPR dari Partai Republik harus setuju merilis berkas Epstein karena kita tak punya apa-apa untuk disembunyikan, dan kini waktunya bergerak dari Hoaks Demokrat yang diciptakan oleh Orang Kiri Radikal Gila untuk beralih dari Kesuksesan Besar Partai Republik.” Kutipan ini mencerminkan gaya retoris khas Trump, yang kerap membingkai isu sensitif sebagai serangan politik dari lawan. Namun, di balik nada optimis itu, perubahan sikap ini muncul hanya sehari setelah ia menarik dukungannya terhadap Wakil Ketua DPR Marjorie Taylor Greene, seorang sekutu dekat yang justru menjadi salah satu penggiat utama kampanye rilis berkas. Greene, yang baru saja menerima ancaman bom setelah berseteru dengan Trump, menyatakan bahwa dukungannya terhadap transparansi bukanlah pengkhianatan, melainkan upaya melindungi integritas partai dari tuduhan hipokris.
Latar belakang pergeseran ini tak lepas dari sejarah panjang Trump dengan Epstein, seorang financier kaya raya yang pada 2019 didakwa atas perdagangan seks anak di bawah umur. Jaksa federal saat itu mengungkap bahwa antara 2002 hingga 2005, Epstein melakukan hubungan seksual dengan puluhan gadis remaja di kediamannya di New York dan Florida, membayar mereka ratusan dolar tunai, serta merekrut korban baru melalui jaringan yang melibatkan rekan-rekannya. Beberapa korban berusia sekadar 14 tahun, menjadikan kasus ini sebagai salah satu skandal perdagangan manusia terbesar di kalangan elit AS. Epstein sempat ditahan tanpa jaminan di Manhattan pada Juli 2019, tapi ditemukan tewas di selnya hanya sebulan kemudian—penyidik menyimpulkan itu sebagai bunuh diri, meski spekulasi konspirasi hingga kini masih bergaung di kalangan publik.

Trump sendiri pernah disebut-sebut dalam dokumen awal Epstein, termasuk email 2011 yang baru dirilis minggu lalu oleh anggota Kongres dari kedua partai, di mana Epstein membahas pengetahuan Trump tentang “para gadis” yang menjadi korban. Meski Trump menyangkal keterlibatan dan mengklaim telah memutus hubungan dengan Epstein bertahun-tahun sebelumnya, tuduhan itu kini menjadi amunisi bagi kritikus yang menyoroti dugaan hubungan pribadi mereka di kalangan sosialita New York. Perubahan sikap Trump kemungkinan besar merupakan respons terhadap tekanan internal: survei internal Partai Republik menunjukkan bahwa 60 persen basis pemilihnya mendukung rilis penuh berkas, melihatnya sebagai janji kampanye yang tak terpenuhi sejak kemenangan Trump di pemilu lalu.
Kongres AS kini berada di persimpangan krusial. Pemungutan suara dijadwalkan paling cepat Selasa waktu setempat, dengan Wakil Ketua DPR Thomas Massie dari Kentucky memimpin upaya bipartisan untuk memaksa Kementerian Kehakiman melepaskan dokumen yang tersisa. Massie, yang dikenal sebagai suara independen di partainya, mengungkapkan pada Minggu malam bahwa berkas-berkas tersebut memuat nama minimal 20 tokoh berpengaruh—termasuk filantropis, politisi, dan eksekutif korporasi—yang diduga terlibat dalam jaringan Epstein tapi belum pernah diselidiki secara mendalam. “Ini bukan tentang menyeret siapa pun secara sembarangan,” tegas Massie dalam wawancara eksklusif. “Tapi keengganan pemerintahan untuk merilisnya lebih kepada upaya melindungi donor kampanye dan lingkaran sosial elit, daripada mencari kebenaran bagi korban.”
Baca juga : Kunjungan Diplomatik Jepang ke China: Upaya Merendam Eskalasi atas Isu Taiwan
Dari perspektif akademis, peristiwa ini menawarkan studi kasus menarik tentang dinamika kekuasaan di demokrasi modern. Sebagaimana diuraikan dalam jurnal American Political Science Review edisi terbaru, pembalikan sikap pemimpin seperti Trump sering kali mencerminkan “rasionalitas koersif” di mana tekanan elektoral memaksa adaptasi cepat terhadap narasi publik, meski tanpa perubahan substansial pada kebijakan inti. Peneliti politik dari Universitas Harvard, Dr. Elena Vasquez, mengomentari bahwa desakan Trump ini “bukanlah kemenangan transparansi, melainkan taktik bertahan hidup politik di tengah fragmentasi partai.” Vasquez menambahkan bahwa kegagalan pemerintahan Trump merilis berkas sejak 2024 telah memicu gelombang ketidakpuasan di kalangan pemilih konservatif, yang melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap retorika anti-elit yang menjadi ciri khas Trump.
Perhatian publik terhadap skandal Epstein melonjak kembali sejak akhir pekan, dengan demonstrasi kecil di depan Gedung Putih yang menuntut “keadilan untuk korban, bukan perlindungan untuk pelaku.” Kelompok advokasi korban, seperti Survivors’ Justice Network, merilis video emosional yang menampilkan kesaksian langsung dari perempuan yang selamat, mendesak Kongres untuk bertindak. “Berkas ini bukan sekadar kertas; itu adalah suara kami yang selama ini dibungkam,” kata salah satu korban dalam rekaman tersebut. Meski Trump menegaskan bahwa rilis berkas akan membuktikan “tidak ada yang disembunyikan,” skeptisisme tetap tinggi, terutama setelah Kementerian Kehakiman gagal memenuhi janji kampanye Partai Republik untuk membuka arsip penuh.

Apakah pemungutan suara mendatang akan menghasilkan terobosan sejati, atau sekadar teater politik baru? Saat Kongres bergerak maju, satu hal pasti: kasus Epstein terus menjadi cermin gelap bagi institusi kekuasaan AS, menguji batas antara akuntabilitas dan kepentingan pribadi. Dengan potensi implikasi pidana bagi tokoh-tokoh tak terduga, minggu ini bisa menjadi titik balik—orang mungkin hanya ilusi transparansi di era pasca-kebenaran.
Pewarta : Anjar Bramantyo

