RI News Portal. Surakarta, 17 November 2025 – Di bawah langit mendung yang seolah mencerminkan kerumitan internalnya, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menyaksikan puncak prosesi sakral Jumenengan Dalem Nata Binayangkare pada Sabtu lalu. Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamengkunegoro, yang lebih dikenal sebagai Gusti Purboyo, secara resmi dinobatkan sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XIV dengan gelar penuh Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhunan Kanjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Kangjumeneng Kaping 14. Upacara ini, yang berlangsung di tengah bayang-bayang dualisme kepemimpinan, tidak hanya menjadi ritual adat semata, melainkan juga pernyataan tegas tentang kelanjutan garis trah Mataram Islam di era kontemporer.
Prosesi dimulai dari Ndalem Prabasuyasa, sebuah paviliun suci yang menyimpan ritual-ritual tertutup yang tak boleh disaksikan mata luar. Di sana, calon raja menjalani serangkaian upacara pengesahan yang bersifat esoteris, menandai transisi spiritual dari pewaris menjadi penguasa. Dari lokasi itu, rombongan bergerak pelan menuju Kamandungan, gerbang utama keraton, sebelum mencapai Siti Hinggil—atau Bangsal Manguntur Takil—pusat upacara kenegaraan. Sepanjang perjalanan, Gusti Purboyo dikawal oleh barisan bregada, prajurit keraton berpakaian adat lengkap, diiringi iring-iringan kerabat sentana dan abdi dalem yang membawa payung kebesaran serta pusaka simbolis. Suasana hening, hanya dipecah oleh denting gamelan yang rendah, menciptakan aura mistis yang mengingatkan pada masa kejayaan kerajaan Jawa abad ke-18.
Puncaknya terjadi di Bangsal Manguntur Takil, di mana PB XIV membacakan Sabda Dalem, sumpah suci sebagai penerus PB XIII yang wafat dua minggu sebelumnya. Dengan suara mantap, ia mengikrarkan: “Saya, menjabat sebagai Sri Susuhunan di Keraton Surakarta Hadiningrat dengan sebutan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhunan Kanjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Kangjumeneng Kaping 14.” Sumpah itu terdiri dari tiga poin inti: pertama, menjalankan kepemimpinan berdasarkan syariat Islam dan paugeran keraton dengan keadilan mutlak, mengayomi semua pihak setia; kedua, mendukung penuh Negara Kesatuan Republik Indonesia secara lahir dan batin, sebagai bentuk bakti negara; ketiga, melestarikan budaya, tata upacara, dan warisan luhur raja-raja Mataram, khususnya gelar Susuhunan Surakarta. “Sabdaku ini, hendaknya diketahui semua pihak, putra-putri dalem, para sentana dalem, para abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat, dan seluruh masyarakat di mana pun berada,” tuturnya, diikuti penghormatan hormat berdiri dari para tamu undangan, termasuk perwakilan pemerintah daerah dan tokoh adat.

Upacara dilanjutkan dengan Kirab Ageng, arak-arakan megah yang mengikuti rute tradisional: dari Kagungan Dalem Siti Hinggil ke Sasana Sumewa, keluar ke Alun-Alun Lor, menyusuri Gladag, Loji Wetan, Perempatan Baturana, Gemblegan, Kusumanagaran, sebelum kembali melalui koridor yang sama dan berakhir di Pagelaran. Ribuan warga Surakarta memadati pinggir jalan, membawa bendera pusaka dan wewangian bunga, menyambut era baru dengan sorak-sorai yang bergema. Prosesi ini, menurut panitia, sepenuhnya sesuai paugeran keraton, yang menekankan kontinuitas tanpa celah kekosongan kekuasaan.
GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, putri tertua almarhum PB XIII sekaligus ketua panitia, menegaskan persiapan telah dirintis sejak lama. “Jumenengan Dalem sudah sesuai paugeran karena saya sudah menyiapkan dari lama untuk segala sesuatu yang harus dikumpulkan atau ditetapkan agar sah secara adat,” katanya. Ritual di Ndalem Prabasuyasa, yang ia sebut sebagai syarat pengesahan utama, tetap dirahasiakan sebagai bagian dari kesucian tradisi. Persiapan ini mencakup koordinasi dengan para sesepuh dan verifikasi dokumen wasiat, meski detailnya tak diungkap untuk menjaga martabat keraton.
Namun, kegembiraan prosesi itu tak lepas dari naungan dualisme yang kian membara. Dua hari sebelumnya, pada Kamis (13/11/2025), sekelompok kerabat—termasuk putra laki-laki tertua PB XIII, KGPH Hangabehi—menyelenggarakan rapat keluarga besar di Kagungan Dalem Sasana Handrawina. Difasilitasi oleh Maha Menteri Keraton Kanjeng Gusti Panembahan Agung (KGPA) Tedjowulan, rapat itu diwarnai pengikraran Hangabehi sebagai PB XIV alternatif. Perwakilan keluarga, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Koes Moertiyah Wandansari atau Gusti Moeng, menyebut pertemuan itu sebagai upaya penyatuan setelah perpecahan lama. “Sudah selesai masalah dari Sinuhun yang lalu ke yang ini. Kita menyatu saja, yang penting menjaga keutuhan sentana, abdi dalem, kerabat semua, dan melestarikan keraton,” ujarnya.
Baca juga : Pengamanan Humanis di Balik Unjuk Rasa Buruh Jakarta: Strategi Kepolisian dalam Menjaga Ruang Demokrasi
Gusti Moeng menekankan paugeran tradisional: tanpa permaisuri resmi, penerus adalah anak laki-laki tertua. “Gusti Behi (Hangabehi) tidak minta kepada Allah untuk dilahirkan lebih tua dari Purboyo. Itu kehendak Ilahi, dan paugeran menjadikannya acuan. Tapi direkayasa seakan ada permaisuri, surat wasiat, pengangkatan Adipati Anom—itu baru akan kita kaji secara hukum,” tambahnya, mempertanyakan legitimasi kubu Purboyo.
KGPH Benowo, adik almarhum PB XIII, menceritakan momen dramatis itu dengan nada getir. Ia mengaku firasat buruk membuatnya absen dari rapat. “Perasaan saya sudah tidak enak. Undangan datang, tapi rapat kok di situ? Saya pilih di rumah.” Firasatnya terbukti: di tengah diskusi suksesi, Hangabehi tiba-tiba dinobatkan. “Tiba-tiba di situ menobatkan si Suryo Suharto atau Mangkubumi sebagai pengganti PB XIV. Saudara-saudara saya lari keluar—Gusti Puger, Gusti Neno, Gusti Menul—nggak mau menyaksikan. Kok aneh, disuruh rapat kok disuruh jumenengan gitu,” kenangnya usai prosesi utama Sabtu.

Benowo juga menolak klaim KGPA Tedjowulan sebagai pelaksana tugas (Plt) raja. “Monggo saja. Gusti Tedjowulan itu pendamping PB XIII. Kalau pendampingnya sudah wafat, mau dampingi siapa? Status maha menteri tidak otomatis berlanjut ke PB XIV baru. Harus diikrarkan lagi.” Ia membantah adanya surat keputusan pemerintah yang memberi mandat interim, menegaskan urusan internal keraton tak boleh dicampuri kementerian. Tedjowulan sendiri, merespons penobatan Purboyo, bersikukuh sebagai Plt sambil mengaku tak tahu agenda penobatan Hangabehi di rapatnya sendiri. “Saya masih menjabat Plt raja. Penobatan itu tak saya ketahui sebelumnya,” katanya.

Dualisme ini menggemakan konflik suksesi 2004 pasca wafatnya PB XII, di mana dua kubu saling klaim hingga mediasi pemerintah. Kini, dengan PB XIV Purboyo menolak penobatan kakaknya sebagai tidak sah dan mengancam jalur hukum, potensi eskalasi semakin nyata. Para pengamat adat melihatnya sebagai ujian bagi resiliensi trah Mataram: bagaimana tradisi paugeran beradaptasi dengan dinamika keluarga modern, di mana ikatan darah bertabrakan dengan penunjukan resmi. “Ini bukan sekadar perebutan kursi, tapi pertarungan atas jiwa keraton—antara kehendak leluhur dan kehendak kontemporer,” komentar seorang sesepuh anonim.
Di tengah ketegangan, ribuan warga yang menyaksikan kirab Sabtu tampak abai pada intrik internal, fokus pada simbol keabadian budaya Jawa. Seorang pedagang kaki lima di Alun-Alun Lor berkata, “Apa pun dualismanya, keraton tetap pusat kita. Yang penting raja baru bawa berkah.” Namun, bagi keraton itu sendiri, berkah itu tampaknya masih tergantung pada rekonsiliasi yang rapuh. Apakah dualisme ini akan meredam melalui musyawarah adat, atau justru memicu babak baru dalam sejarah Surakarta? Waktu, seperti gamelan yang pelan, akan memberi jawaban.
Pewarta : Rendro P

