RI News Portal. Denpasar, 17 November 2025 – Dalam upaya pengawasan intensif menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Denpasar mengidentifikasi enam produk makanan yang mengandung zat kimia berbahaya di Pasar Kreneng. Temuan ini mencerminkan kerentanan rantai pasok pangan lokal terhadap praktik produksi tidak aman, dengan implikasi signifikan terhadap kesehatan konsumen dan integritas tradisi ritual Bali.
Pemeriksaan yang dilakukan pada Senin pagi melibatkan pengambilan 22 sampel produk secara selektif, berdasarkan observasi visual terhadap kondisi fisik dan kemasan yang mencurigakan. Sampel tersebut mewakili empat kategori potensial kontaminan: rhodamin B (pewarna tekstil sintetis), formalin (pengawet kimia), boraks, dan metanil yellow. Dari total sampel, 27% atau enam item terdeteksi positif, terdiri dari tiga kasus formalin dan tiga kasus rhodamin B. Secara spesifik, produk teri medan, cumi kering, dan cumi basah menunjukkan kandungan formalin dengan konsentrasi hingga 13,5%, sementara terasi lombok dari tiga varian berbeda positif rhodamin B, ditandai dengan pembentukan cincin pink pada lapisan permukaan larutan uji.
Kepala BBPOM Denpasar, I Gusti Ayu Adhi Aryapatni, menekankan bahwa pengujian rhodamin B pada 10 sampel—termasuk terasi lombok, jajan kukus, jaja begina, arum manis, biji pink daluman, serta berbagai jajan Bali untuk upakara—difokuskan pada produk berwarna mencolok yang rawan penyalahgunaan pewarna non-pangan. Delapan sampel lain, seperti cumi dan sudang lepet, diuji untuk formalin, sementara kerupuk dan roti kukus diperiksa terhadap boraks serta metanil yellow. “Pendekatan ini berbasis risiko, memprioritaskan item dengan volume penjualan tinggi selama periode ritual,” ungkap Aryapatni.

Secara ilmiah, rhodamin B—senyawa azo yang biasa digunakan dalam industri tekstil—berpotensi karsinogenik dan dapat menyebabkan gangguan hati serta ginjal pada paparan kronis, sebagaimana didokumentasikan dalam studi toksikologi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Formalin, atau larutan formaldehida, diketahui bersifat iritan dan karsinogen, dengan ambang batas aman nol untuk konsumsi manusia menurut regulasi nasional. Temuan ini menyoroti celah dalam pengawasan hulu, terutama pada produk impor atau produksi skala kecil di luar Bali, di mana tidak ada deteksi kontaminan pada jajan upakara esensial untuk sajen.
Respons kebijakan BBPOM mengadopsi pendekatan edukatif daripada represif: produk tidak disita untuk menghindari kerugian ekonomi pedagang, melainkan diarahkan untuk penghentian penjualan, pengembalian ke pemasok, dan pelacakan sumber produksi. Langkah ini sejalan dengan prinsip pembinaan preventif, meski menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas jangka panjang tanpa sanksi tegas. Kepala Unit Pasar Kreneng, I Gusti Ngurah Arya Kusuma, menyatakan komitmen pengawasan lanjutan, termasuk evaluasi berkala untuk mencegah rekurensi. “Kami akan terapkan mekanisme teguran berulang dan monitoring harian,” katanya, mengakui dinamika ‘kucing-kucingan’ dengan pedagang.
Baca juga : Pengamanan Humanis di Balik Unjuk Rasa Buruh Jakarta: Strategi Kepolisian dalam Menjaga Ruang Demokrasi
Dari perspektif kesehatan masyarakat, insiden ini menggarisbawahi urgensi literasi konsumen, khususnya dalam konteks budaya Bali di mana Galungan dan Kuningan melibatkan konsumsi massal jajan ritual. Aryapatni merekomendasikan protokol KLIK—Kemasan, Label, Izin edar, dan Kedaluwarsa—sebagai alat sederhana verifikasi, ditambah penilaian higienitas lingkungan penjualan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa produk non-lokal cenderung berisiko lebih tinggi, menyarankan integrasi pengawasan lintas wilayah untuk mitigasi.
Temuan BBPOM ini tidak hanya menjadi peringatan musiman, tetapi juga katalisator diskusi akademis tentang ketahanan sistem pangan tradisional terhadap ancaman kimia modern. Di tengah euforia perayaan, masyarakat diimbau untuk memprioritaskan sumber terverifikasi, memastikan esensi spiritual Galungan tetap terjaga tanpa kompromi kesehatan.
Pewarta : Kade NAL

