RI News Portal. Jakarta, 17 November 2025 – Dalam konteks dinamika sosial-ekonomi pasca-pandemi yang masih memengaruhi sektor ketenagakerjaan di Indonesia, unjuk rasa massal yang digelar Aliansi Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh se-Jakarta serta elemen masyarakat pendukungnya di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, pada Senin pagi, menjadi sorotan utama. Aksi ini, yang diperkirakan melibatkan ribuan peserta, menyoroti isu-isu krusial seperti upah layak, perlindungan hak buruh, dan kebijakan ketenagakerjaan nasional. Namun, di balik tuntutan tersebut, pendekatan pengamanan yang diterapkan aparat kepolisian menawarkan perspektif akademis menarik mengenai evolusi manajemen kerumunan dalam ruang publik demokratis.
Penelitian kontemporer di bidang ilmu kepolisian dan studi konflik sosial, seperti yang dikembangkan oleh para ahli di Universitas Indonesia dan lembaga internasional seperti International Association of Chiefs of Police, menekankan pentingnya pendekatan “policing by consent” – di mana aparat tidak hanya sebagai penegak hukum, tapi juga fasilitator dialog. Hal ini tercermin dalam pengerahan 1.963 personel gabungan yang difokuskan pada pelayanan humanis, bukan konfrontasi. Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro, sebagai komandan lapangan, menegaskan komitmen ini dengan menyatakan bahwa seluruh personel dilarang membawa senjata api, sebuah langkah preventif untuk mencegah eskalasi kekerasan yang sering kali menjadi risiko dalam demonstrasi skala besar.
Dari sudut pandang teori manajemen risiko publik, strategi ini dapat dianalisis sebagai bentuk de-eskalasi proaktif. Personel tidak hanya bertugas mengamankan perimeter, tapi juga memberikan ruang ekspresi aspirasi yang aman dan nyaman. “Pendekatan ini mencerminkan pergeseran paradigma dari model represif era Orde Baru menuju model partisipatif di era reformasi,” ujar seorang pengamat keamanan urban dari kalangan akademisi yang enggan disebut namanya, dalam wawancara eksklusif. Ia menambahkan bahwa absennya senjata api bukan sekadar taktis, melainkan simbolik untuk membangun kepercayaan mutual antara negara dan masyarakat sipil.

Lebih lanjut, imbauan Susatyo kepada orator dan peserta aksi untuk menjaga bijaksana dalam berbicara serta menghindari tindakan destruktif – seperti pelemparan benda, pembakaran ban, atau perusakan fasilitas – menggarisbawahi prinsip etika demonstrasi. Ini selaras dengan kerangka hukum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang menekankan tanggung jawab bersama. Dalam analisis sosiologis, tindakan provokatif sering kali menjadi pemicu spiral kekerasan, sebagaimana terlihat dalam kasus-kasus historis seperti Kerusuhan Mei 1998. Oleh karena itu, ajakan untuk saling menghormati dan menolak provokasi bukan hanya seruan moral, tapi strategi preventif berbasis bukti empiris dari studi kasus global, termasuk gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat atau protes Yellow Vests di Prancis.
Aspek logistik pengamanan juga patut dicermati. Rekayasa lalu lintas situasional yang diterapkan mengikuti dinamika lapangan menunjukkan fleksibilitas operasional yang adaptif terhadap variabel tak terduga, seperti kepadatan massa atau cuaca. Masyarakat umum diimbau memanfaatkan rute alternatif, sebuah langkah yang tidak hanya meminimalkan gangguan ekonomi di pusat ibu kota, tapi juga mendukung prinsip inklusivitas ruang publik. Dari perspektif urban planning, kawasan Monas sebagai simbol nasionalisme sering menjadi episentrum kontestasi sosial, sehingga pengelolaan ini berkontribusi pada keberlanjutan fungsi kota sebagai ruang dialog, bukan arena konflik.
Secara keseluruhan, unjuk rasa ini berpotensi menjadi model sukses manajemen demonstrasi di tengah tantangan polarisasi sosial. Jika berlangsung tanpa insiden, ia akan memperkuat narasi bahwa demokrasi Indonesia mampu mengakomodasi dissent tanpa kekerasan. Namun, keberhasilan ini bergantung pada komitmen kolektif: dari kepolisian yang profesional hingga peserta aksi yang bertanggung jawab. Penelitian lanjutan di bidang ini diharapkan dapat menghasilkan panduan kebijakan yang lebih komprehensif, terutama di era digital di mana informasi cepat menyebar dan berpotensi memicu eskalasi.
Pewarta : Yudha Purnama

