RI News Portal. Teheran, 16 November 2025 – Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, pada Sabtu lalu menyuarakan kekhawatiran mendalam terhadap implikasi eskalasi militer Amerika Serikat di wilayah Karibia dan Amerika Latin, yang berpotensi mengguncang fondasi perdamaian dan keamanan internasional. Pernyataan ini muncul sebagai respons langsung terhadap pengumuman operasi antinarkotika AS yang diberi nama “Southern Spear”, yang diumumkan oleh Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth dua hari sebelumnya.
Dalam analisisnya, Baghaei menekankan urgensi penghormatan terhadap prinsip kedaulatan dan integritas teritorial Venezuela, negara yang menjadi fokus utama operasi tersebut. Ia mengkarakterisasi ancaman penggunaan kekerasan oleh AS terhadap pemerintah Venezuela yang sah sebagai bentuk pelanggaran hukum internasional yang nyata, khususnya melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Tindakan ini bukan hanya intervensi unilateral, tetapi juga penyalahgunaan isu perdagangan narkoba sebagai kedok untuk melemahkan kedaulatan negara berdaulat,” ujar Baghaei, merujuk pada pola historis intervensi eksternal di kawasan tersebut.
Lebih lanjut, Baghaei mengutip serangkaian laporan dari badan-badan internasional yang mendokumentasikan insiden-insiden kekerasan di laut lepas. Menurutnya, sejak September tahun ini, AS telah melakukan sekitar 20 serangan terhadap kapal-kapal penangkap ikan di Laut Karibia dan Pasifik Timur, yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak 80 orang. Insiden-insiden ini, kata dia, dapat diklasifikasikan sebagai eksekusi ekstrayudisial dan pembunuhan sewenang-wenang, yang bertentangan dengan norma-norma hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. “Washington tampaknya memanfaatkan narasi ‘teroris narkotika’ untuk membenarkan kehadiran militer yang masif, termasuk pengerahan kapal perang di perairan utara Venezuela,” tambahnya, sambil menyoroti risiko eskalasi yang lebih luas jika tidak segera ditangani.

Pernyataan ini tidak hanya mencerminkan posisi Tehran dalam mendukung Caracas, tetapi juga menyorot dinamika geopolitik yang lebih dalam di Belahan Bumi Barat. Dari perspektif akademis, eskalasi semacam ini dapat dianalisis melalui lensa teori realisme dalam hubungan internasional, di mana kekuatan hegemonik cenderung menggunakan instrumen militer untuk mempertahankan pengaruhnya, sering kali dengan mengabaikan mekanisme multilateral seperti Dewan Keamanan PBB. Baghaei secara eksplisit memanggil PBB untuk mengambil peran proaktif dalam mencegah aksi-aksi yang mempromosikan unilateralisme agresif, dengan harapan dapat memicu debat di Majelis Umum atau komite terkait.
Konteks historis menambah lapisan kompleksitas pada isu ini. Venezuela, yang telah lama menjadi mitra strategis Iran di kawasan Amerika Latin, menghadapi tekanan berkelanjutan dari AS sejak era sanksi ekonomi yang diperketat pada dekade sebelumnya. Operasi “Southern Spear” sendiri digambarkan oleh Washington sebagai upaya kooperatif untuk memerangi jaringan narkotika yang diduga terkait dengan elemen pemerintahan Venezuela—klaim yang dibantah keras oleh Caracas dan sekutunya. Namun, laporan independen dari organisasi non-pemerintah menunjukkan bahwa korban serangan sering kali adalah nelayan sipil, bukan pelaku kriminal, yang memunculkan pertanyaan etis tentang proporsionalitas dan akuntabilitas dalam operasi militer semacam itu.
Baca juga : Indonesia Dorong Mekanisme Karbon Global yang Berkeadilan bagi Solusi Berbasis Alam di COP30
Dampak potensial dari eskalasi ini melampaui batas regional. Pakar hubungan internasional memperingatkan bahwa peningkatan kehadiran militer AS bisa memprovokasi respons dari aktor lain, termasuk aliansi anti-hegemonik di Amerika Latin, dan berisiko mengganggu rute perdagangan maritim global. Iran, sebagai negara yang sering bersinggungan dengan kebijakan luar negeri AS, menggunakan momen ini untuk memperkuat narasi solidaritas Selatan-Selatan, sekaligus menekankan pentingnya reformasi tata kelola global untuk membatasi intervensi sepihak.
Sementara itu, komunitas internasional diharapkan untuk memantau perkembangan selanjutnya, terutama apakah PBB akan merespons panggilan Baghaei dengan resolusi atau investigasi independen. Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari Sekretariat PBB, tetapi isu ini berpotensi menjadi agenda darurat di sesi mendatang. Analis memperkirakan bahwa ketegangan ini akan terus memengaruhi stabilitas kawasan, dengan implikasi jangka panjang bagi norma-norma hukum internasional di era pasca-Perang Dingin.
Pewarta : Anjar Wibisono

