RI News Portal. Jakarta 15 November 2025 – Dalam pernyataan yang mengejutkan di tengah perjalanan dinasnya menuju Florida, Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Jumat (14/11) mengonfirmasi niat pemerintahannya untuk melanjutkan uji coba senjata nuklir. Pernyataan ini, yang disampaikan secara informal di atas pesawat kepresidenan Air Force One, menandai potensi pembalikan kebijakan non-proliferasi nuklir yang telah dipegang AS selama lebih dari tiga dekade. Trump menekankan bahwa langkah ini bukanlah pilihan sukarela, melainkan respons terhadap aktivitas serupa dari negara-negara lain yang, menurutnya, mengancam superioritas militer AS.
“Saya benci harus melakukan ini, tapi saya tidak punya pilihan lain. Mereka punya senjata nuklir, dan kami harus memastikan milik kami tetap aman dan unggul,” ujar Trump, merujuk pada renovasi dan pengembangan senjata nuklir AS yang telah dilakukan di bawah kepemimpinannya. Ia menambahkan bahwa AS memiliki “lebih banyak senjata nuklir daripada negara mana pun,” dengan Rusia di posisi kedua dan China “jauh di belakang, tapi akan menyusul dalam empat atau lima tahun.” Pernyataan ini sejalan dengan kekhawatiran Trump tentang ekspansi arsenal nuklir Beijing dan Moskow, yang telah menjadi sorotan utama dalam retorika keamanan nasionalnya sejak awal masa jabatan kedua.
Pernyataan Trump ini melanjutkan momentum dari pengumuman sebelumnya. Pada Rabu lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio membela rencana tersebut sebagai upaya verifikasi keamanan stok senjata nuklir nasional. “Kami akan melakukan uji coba seperti yang dilakukan negara lain. Kami punya yang terbanyak, dan kami harus mengujinya untuk menjaga integritasnya,” kata Rubio, menekankan bahwa langkah ini bertujuan memperkuat kredibilitas pencegah nuklir AS tanpa mengganggu keseimbangan strategis global. Pekan sebelumnya, Trump secara eksplisit memerintahkan apa yang disebutnya “Departemen Perang”—istilah historis untuk Departemen Pertahanan—untuk memprioritaskan persiapan uji coba. Perintah ini, menurut Trump, diperlukan karena “pihak lain sudah melakukan uji coba,” dan AS harus “mengikuti perkembangan” untuk menghindari keterbelakangan teknologi.

Namun, di balik nada tegasnya, Trump menyiratkan komitmen terhadap de-eskalasi jangka panjang. Ia menyatakan ketertarikannya pada “denuklirisasi,” sebuah istilah yang merujuk pada pelucutan senjata nuklir secara bertahap. “Yang saya inginkan sebenarnya adalah denuklirisasi. Kami punya yang terbanyak, tapi jika semua setuju mengurangi, itu akan jadi kemenangan besar,” tambahnya. Pernyataan ini mencerminkan ambivalensi dalam pendekatan Trump: di satu sisi, ia mendorong “kekuatan melalui ketegasan” untuk menekan lawan; di sisi lain, ia membuka pintu bagi negosiasi multilateral, meskipun tanpa detail konkret tentang mitra potensial.
Reaksi internasional terhadap pengumuman ini cepat dan beragam, dengan implikasi yang melampaui batas nasional. Pada Kamis, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menyatakan bahwa uji coba nuklir AS—jika terealisasi—akan menandai “akhir dari moratorium panjang atas uji coba nuklir global.” Peskov menambahkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin telah berulang kali menegaskan bahwa Moskow akan “bertindak sesuai” jika negara lain memulai kembali aktivitas tersebut. Pernyataan ini menggemakan posisi Rusia sejak 2023, ketika Moskow menyatakan siap melanjutkan uji coba hanya jika AS bergerak lebih dulu, sebuah sikap yang kini tampak semakin rapuh di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat.
Baca juga : Pasar Modal Indonesia Hampir Capai Target 70% PDB, Empat Tahun Lebih Cepat dari RPJMN
Dari perspektif akademis, langkah Trump ini membuka kembali perdebatan tentang norma non-proliferasi internasional yang dibangun sejak akhir Perang Dingin. Moratorium uji coba nuklir AS sejak 1992 telah menjadi pilar utama Traktat Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT), meskipun traktat tersebut belum sepenuhnya diratifikasi oleh kekuatan besar seperti AS dan China. Menurut analisis dari para ahli di Institut Studi Strategis Global, kelanjutan uji coba bisa mempercepat siklus reaksi berantai: Rusia mungkin merespons dengan demonstrasi kekuatan sendiri, sementara China—yang arsenalnya diproyeksikan mencapai paritas dengan AS pada 2030—dapat mempercepat program modernisasinya. “Ini bukan sekadar tes teknis; ini sinyal politik yang bisa mengikis fondasi pencegah bersama,” kata Prof. Akira Tanaka, pakar proliferasi Asia-Pasifik, dalam wawancara baru-baru ini.
Secara lebih luas, implikasi lingkungan dan kemanusiaan tidak boleh diabaikan. Uji coba bawah tanah, meskipun kurang destruktif daripada era 1950-an, tetap berisiko melepaskan kontaminan radioaktif ke akuifer dan atmosfer, seperti yang terdokumentasi dalam studi pasca-uji coba di Nevada Test Site. Dari sudut pandang etis, ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah superioritas nuklir yang dirasakan membenarkan potensi destabilisasi global? Sejarah menunjukkan bahwa eskalasi semacam ini sering kali memperburuk ketegangan, bukan meredakannya—lihat saja Krisis Rudal Kuba 1962 sebagai preseden.

Pemerintahan Trump bersikeras bahwa uji coba ini akan terbatas pada verifikasi keamanan, bukan pengembangan senjata baru, dan akan dilakukan di fasilitas yang ada untuk meminimalkan dampak. Namun, skeptisisme tetap tinggi di kalangan pakar, yang memperingatkan bahwa ambiguitas dalam pernyataan Trump bisa menjadi katalisator bagi proliferasi lebih lanjut di wilayah seperti Timur Tengah atau Asia Selatan. Saat dunia memasuki era ketidakpastian ini, pertanyaannya bukan hanya apakah AS akan menekan tombol uji coba, tapi bagaimana komunitas internasional merespons untuk menjaga ambang batas nuklir tetap aman. Hanya waktu yang akan menjawab, tapi taruhannya tak pernah setinggi ini.
Pewarta : Anjar Bramantyo

