RI News Portal. Washington, D.C. – Presiden Donald Trump secara resmi menandatangani rancangan undang-undang (RUU) pendanaan pemerintah federal pada Rabu malam, 12 November 2025, mengakhiri penutupan operasional (government shutdown) yang berlangsung selama 43 hari. Periode ini mencatatkan rekor sebagai shutdown terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat, melampaui episode sebelumnya pada 2018-2019 yang berlangsung 35 hari.
Analisis akademis terhadap dinamika ini menyoroti bagaimana shutdown kali ini bukan sekadar konflik anggaran, melainkan manifestasi dari polarisasi institusional yang semakin dalam antara eksekutif dan legislatif, dengan implikasi jangka panjang terhadap stabilitas governance. Berbeda dari narasi konvensional yang menekankan pada dampak ekonomi langsung, fokus di sini adalah pada mekanisme kekuasaan unilateral presiden yang mempercepat erosi norma bipartisanship.
Penutupan ini memengaruhi sekitar 800.000 pegawai federal, di mana sebagian besar tidak menerima gaji selama lebih dari enam minggu. Studi kasus lapangan menunjukkan peningkatan 25-30% dalam kunjungan ke bank makanan nasional, terutama di wilayah urban seperti Chicago dan Atlanta, di mana antrean mencapai ratusan orang per hari. Di sektor transportasi, ribuan penerbangan terganggu akibat absennya petugas keamanan TSA, menyebabkan penundaan rata-rata 4-6 jam di bandara utama seperti Hartsfield-Jackson Atlanta dan O’Hare Chicago.

Dari perspektif teori ekonomi politik, shutdown ini mengilustrasikan “efek ripple” yang memperburuk ketimpangan: keluarga berpenghasilan rendah kehilangan akses sementara ke program bantuan federal, sementara kontraktor swasta menghadapi kerugian kumulatif hingga miliaran dolar. Ini kontras dengan shutdown sebelumnya, di mana pemulihan lebih cepat berkat cadangan dana pribadi pegawai.
Trump mengadopsi strategi yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk pembatalan sepihak proyek infrastruktur federal senilai puluhan miliar dolar dan upaya pemecatan massal pegawai sipil untuk memaksa konsesi dari oposisi. Dalam pernyataan resminya, presiden menuding Partai Demokrat sebagai penyebab utama, menyebut mereka “penghalang kemajuan nasional.”
Pendekatan ini dapat dianalisis melalui lensa teori presidensialisme imperil, di mana eksekutif memanfaatkan ambiguitas konstitusional untuk memperluas otoritas. Berbeda dari preseden historis, tindakan Trump mencerminkan eskalasi dari taktik negosiasi menjadi instrumen koersi, yang berpotensi melemahkan prinsip checks and balances.
Baca juga : Polda Jateng Gelar Latpraops Zebra Candi 2025: Fokus Edukasi dan Humanisme untuk Cipta Kondisi Jelang Nataru
RUU pendanaan akhir disahkan DPR dengan margin tipis 222-209, hampir sepenuhnya mengikuti garis partai. Senat telah lebih dulu menyetujuinya pada Senin, 10 November 2025. Inti perselisihan adalah penolakan Demokrat terhadap versi sementara yang mengabaikan perpanjangan kredit pajak untuk subsidi asuransi kesehatan, yang dianggap krusial bagi 15-20 juta keluarga menengah-rendah berdasarkan data demografis terbaru.
Partai Republik, diwakili Ketua Komite Alokasi DPR Tom Cole, berargumen bahwa isu tersebut harus dipisah dari pendanaan darurat, menekankan bahwa shutdown historically gagal sebagai alat bargaining. Analisis komparatif menunjukkan bahwa strategi ini justru memperpanjang impasse, berbeda dari resolusi cepat di era sebelumnya di mana kompromi bipartisanship lebih dominan.

Dengan penandatanganan ini, operasional pemerintah federal kembali normal, termasuk pembayaran gaji tertunda dan restart program esensial. Namun, shutdown 43 hari ini meninggalkan jejak struktural: erosi kepercayaan publik terhadap institusi, potensi litigasi atas pemecatan ilegal, dan dorongan untuk reformasi anggaran otomatis guna mencegah pengulangan.
Dari sudut pandang ilmu politik, kasus ini memperkuat hipotesis bahwa hiperpartisanship di era pasca-2016 telah mengubah shutdown dari anomaly menjadi norma siklus, dengan risiko destabilisasi demokrasi liberal. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengukur dampak elektoral jangka panjang terhadap kedua partai.
Jurnal ini akan terus memantau evolusi kebijakan pasca-shutdown melalui analisis data primer dan model prediktif.
Pewarta : setiawan Wibisono

