
RI News Portal. Jakarta, 17 Oktober 2025 – Dalam upaya memperkuat jaring pengaman bagi jutaan pekerja migran Indonesia (PMI) yang tersebar di seluruh dunia, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI resmi menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) pada Kamis (16/10) kemarin. Penandatanganan ini menandai era baru kolaborasi antarlembaga, dengan fokus utama pada integrasi data PMI yang selama ini terpisah-pisah, sehingga layanan pelindungan bisa lebih responsif dan tepat sasaran.
Acara berlangsung di Gedung Pancasila, Kemlu, Jakarta, dihadiri langsung oleh Menteri P2MI Mukhtarudin dan Menteri Luar Negeri Sugiono. “Hari ini kami menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Luar Negeri terkait pelayanan dan pelindungan terhadap pekerja migran Indonesia,” ujar Mukhtarudin dalam keterangan tertulis KP2MI yang diterima redaksi di Jakarta, Jumat (17/10).
Mukhtarudin menekankan bahwa MoU ini bukan sekadar dokumen formal, melainkan komitmen nyata untuk memastikan PMI—yang sering menghadapi tantangan seperti eksploitasi, kekerasan, atau kesulitan akses layanan—dapat dilindungi secara optimal. “Kerja sama ini diharapkan memberikan manfaat langsung bagi kepentingan pekerja migran Indonesia, khususnya dalam hal pelayanan dan pelindungan bagi mereka,” tambahnya.

Inti dari MoU ini terletak pada integrasi data PMI antara Web SiskoP2MI milik KP2MI dan Peduli WNI milik Kemlu. Saat ini, data PMI sering kali tercerai-berai, menyebabkan keterlambatan penanganan kasus darurat seperti deportasi mendadak atau kehilangan dokumen di negara tujuan. Dengan sinkronisasi ini, informasi seperti status visa, lokasi kerja, dan riwayat perlindungan bisa diakses secara real-time oleh kedua kementerian.
“Integrasi data akan merevolusi cara kami melindungi PMI. Bayangkan, jika seorang PMI di Timur Tengah mengalami masalah, tim Kemlu di kedutaan bisa langsung mengakses data lengkap dari KP2MI tanpa ribet prosedur manual,” jelas pakar hubungan internasional Universitas Indonesia, Dr. Rina Wijaya, yang memantau perkembangan kebijakan migran. Menurutnya, langkah ini selaras dengan rekomendasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang menekankan sistem data terintegrasi untuk mengurangi risiko 21,4% PMI Indonesia yang dilaporkan mengalami pelanggaran hak pada 2024.
Selain integrasi data, ruang lingkup MoU mencakup beragam inisiatif strategis:
- Sinkronisasi kebijakan: Penyelarasan standar penempatan, pelindungan, dan pemberdayaan PMI agar tidak ada tumpang tindih regulasi.
- Optimalisasi jejaring: Memanfaatkan akses Kemlu ke pasar tenaga kerja luar negeri untuk membuka peluang kerja yang lebih aman dan layak.
- Peningkatan kapasitas SDM: Pelatihan bersama bagi petugas di kedutaan dan kantor KP2MI untuk penanganan kasus lebih efektif.
- Sosialisasi pelindungan: Kampanye massal di daerah pengirim PMI untuk mencegakan penipuan rekrutmen.
- Penanganan hak pekerja: Mekanisme cepat untuk klaim upah, repatriasi, dan bantuan hukum.
Dari sudut pandang akademis, MoU ini merepresentasikan model diplomasi ekonomi yang inovatif, di mana perlindungan migran dijadikan instrumen soft power Indonesia. Peneliti migran dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Hasan Basri, menilai inisiatif ini sebagai “lompatan kualitatif” dibandingkan kerjasama bilateral sebelumnya. “Secara teoritis, integrasi data mengadopsi konsep ‘single window system’ seperti di Singapura, yang terbukti mengurangi waktu respons kasus hingga 40%. Di Indonesia, ini bisa menyelamatkan ribuan PMI dari krisis tahunan,” ungkapnya dalam wawancara eksklusif.
Wakil Menteri P2MI Christina Aryani pun menegaskan urgensi kolaborasi ini. “Penandatanganan MoU merupakan langkah strategis untuk memperkuat koordinasi antar kementerian. Kementerian Luar Negeri adalah mitra strategis kami; hubungan kami sangat erat,” katanya. Aryani menyoroti keterbatasan KP2MI di luar negeri: “Kami tidak bisa mengakses wilayah luar negeri tanpa dukungan Kemlu. Mereka adalah perpanjangan tangan pemerintah dalam melindungi PMI di lapangan.”
Data internal KP2MI mencatat, pada 2024 saja, lebih dari 6,5 juta PMI berkontribusi remittance senilai Rp 300 triliun bagi perekonomian nasional. Namun, 15% di antaranya mengalami masalah hak asasi, mulai dari pemotongan gaji hingga kekerasan fisik. MoU ini diharapkan memangkas angka tersebut melalui pendekatan preventif.
Sebagai langkah konkret, kedua kementerian berkomitmen menyusun rencana aksi bersama dalam waktu dua minggu ke depan. “Implementasi MoU harus efektif dan memberikan manfaat langsung bagi PMI di seluruh dunia,” tegas Mukhtarudin. Rencana ini mencakup uji coba integrasi data di tiga negara tujuan utama—Arab Saudi, Malaysia, dan Hong Kong—pada November 2025.
Para pakar akademis seperti Dr. Wijaya memperingatkan agar implementasi diawasi ketat oleh parlemen untuk menghindari birokrasi berbelit. “Keberhasilan tergantung pada political will. Jika berhasil, ini bisa jadi model bagi ASEAN dalam mengelola 10 juta migran regional,” tambahnya.
MoU KP2MI-Kemlu bukan hanya tanda tangan di kertas, melainkan janji negara kepada rakyatnya yang berjuang di tanah asing. Bagi jutaan PMI, ini berarti harapan akan perlindungan yang lebih cepat, adil, dan manusiawi—membangun fondasi Indonesia sebagai negara yang peduli pada warganya, di mana pun mereka berada.
Pewarta : Albertus Parikesit
