
RI News Portal. Padang, 16 Oktober 2025 – Di tengah langit senja yang mulai cerah setelah hujan deras siang hari, suasana di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Barus di Padang tampak tegang namun penuh harapan. Sekelompok relawan dari Lembaga Tegak Lurus Prabowo, didampingi oleh beberapa awak jurnal, tiba di lokasi sekitar pukul 15.00 WIB untuk menyampaikan laporan resmi terkait dugaan penyerobotan lahan perkebunan masyarakat Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, oleh PT Sukses Jaya Wood. Langkah ini menjadi kelanjutan dari aksi demonstrasi yang berlangsung pada 10 Oktober lalu, di mana tuntutan mediasi dari perusahaan terhadap warga Silaut masih angin lalu.
Perwakilan masyarakat Silaut, Hendrimal—yang akrab disapa Malur dan menjabat sebagai ketua kelompok tani setempat—memimpin rombongan tersebut. Ia didampingi oleh Ir. H. Arse Pane, relawan senior Lembaga Tegak Lurus Prabowo yang turun langsung dari Jakarta untuk memberikan dukungan moral dan advokasi. “Kami datang bukan untuk mengadu, tapi untuk menuntut keadilan yang dijamin konstitusi. Lahan ulayat dan perkebunan sawit warga Silaut telah dirampas tanpa ganti rugi yang layak, dan ini bukan lagi urusan pribadi, melainkan pelanggaran sistemik terhadap hak-hak petani kecil,” tegas Malur saat berbicara dengan tim liputan di lokasi.

Konflik ini telah membara sejak beberapa bulan terakhir, dengan puncaknya pada demonstrasi Jumat, 10 Oktober 2025. Ratusan warga Silaut menggelar aksi damai di depan kantor bupati setempat, menyoroti ketidakhadiran Direktur Utama PT Sukses Jaya Wood, Alisulyanto—yang lebih dikenal dengan panggilan Ahong—dalam upaya mediasi. Warga menilai perusahaan sawit tersebut mengabaikan panggilan dialog, meskipun tuduhan penyerobotan lahan mencakup ribuan hektare area yang telah digarap keluarga petani selama puluhan tahun. “Demo kami seperti angin lalu bagi mereka. Kami ingin mediasi, tapi yang kami dapat hanya keheningan. Keadilan di Indonesia ini harus nyata, bukan janji kosong,” ujar salah seorang demonstran saat itu, yang mewakili suara kolektif warga yang merasa terpinggirkan.
Latar belakang sengketa ini berakar pada Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 08 milik PT Sukses Jaya Wood, yang diduga cacat hukum dan melampaui batas wilayah administratif. Batas alami antara Kecamatan Lunang—di mana perusahaan beroperasi—dan Silaut adalah Sungai Sindang Alam, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur Sumatera Barat. Namun, investigasi independen sebelumnya mengungkap kejanggalan dalam dokumen HGU tersebut, termasuk dugaan manipulasi peta batas lahan yang mengakibatkan penggusuran sepihak terhadap petani Silaut. Warga, yang mayoritas bergantung pada perkebunan sawit sebagai sumber penghidupan, kini menghadapi ancaman kemiskinan struktural akibat hilangnya aset produktif mereka.
Pada kunjungan ke Kejaksaan Tinggi hari ini, rombongan disambut secara profesional oleh petugas yang bertugas. Tidak ada hambatan administratif yang signifikan; laporan diserahkan dengan lancar sekitar pukul 16.00 WIB. Dokumen yang diajukan mencakup bukti-bukti lapangan, seperti foto pengukuran lahan, kesaksian warga, dan analisis dokumen HGU yang menunjukkan ketidaksesuaian batas wilayah. “Proses penerimaan laporan berjalan mulus. Pegawai di sini sangat kooperatif, dan kami berharap ini menjadi pintu masuk bagi penyelidikan mendalam,” kata Arse Pane, yang menekankan komitmen lembaganya dalam mendukung isu agraria sebagai bagian dari mandat sosial Prabowo.
Dukungan dari kalangan jurnalis independen turut memperkuat momentum ini. Beberapa di antaranya, termasuk perwakilan dari berbagai media regional, ikut mendokumentasikan proses pelaporan untuk memastikan transparansi. Mereka menyoroti bahwa kasus ini bukan sekadar perselisihan lokal, melainkan cerminan lebih luas dari ketidakseimbangan kekuasaan antara korporasi besar dan komunitas pedesaan di Indonesia. “Sebagai saksi mata, kami melihat betapa urgennya intervensi lembaga penegak hukum. Ini soal keadilan agraria yang telah lama tertunda,” tambah salah seorang jurnalis yang hadir.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons resmi dari PT Sukses Jaya Wood atau pihak bupati Pesisir Selatan terkait laporan ini. Namun, warga Silaut tetap optimis. “Langit yang cerah sore ini seperti metafor harapan kami. Setelah badai konflik, kami yakin keadilan akan datang,” pungkas Malur, sambil menatap matahari terbenam yang menyinari gedung kejaksaan.
Kasus ini menambah daftar panjang sengketa lahan di Sumatera Barat, di mana hak ulayat masyarakat adat sering bertabrakan dengan ekspansi industri sawit. Para pengamat hukum mendesak agar Kejaksaan Tinggi segera membentuk tim khusus untuk audit HGU, guna mencegah eskalasi yang lebih luas. Bagi warga Silaut, ini bukan akhir, melainkan babak baru dalam perjuangan mereka menuju pengembalian lahan dan kompensasi yang adil.
Pewarta : Sami S
