
RI News Portal. Padang, 15 Oktober 2025 – Di bawah langit mendung yang menyelimuti pesisir selatan Sumatera Barat, suara ratusan warga Kecamatan Silaut bergema lantang di depan gerbang PT Sukses Jaya Wood. Demo yang memasuki hari keenam sejak 10 Oktober kemarin bukan sekadar aksi protes biasa; ini adalah jeritan kolektif dari masyarakat yang merasa hak hidup mereka dirampas mentah-mentah oleh perusahaan kayu yang dipimpin Ali Suyanto, atau yang akrab disapa Ahong. Ribuan hektar lahan sawit yang telah mereka rawat bertahun-tahun kini menjadi sumber konflik agraria yang kian memanas, memicu perdebatan tajam tentang keadilan sosial di tengah kemajuan ekonomi daerah.
Konflik ini, yang telah membara sejak September lalu, berakar pada dugaan pelanggaran Hak Guna Usaha (HGU) nomor 08 milik perusahaan tersebut. Menurut warga Silaut, batas wilayah yang jelas—ditetapkan oleh Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) Sumbar dengan Sungai Sindang Lama sebagai garis pemisah antara Kecamatan Lunang (lokasi perusahaan) dan Silaut—telah diabaikan. Perusahaan diduga merambah lahan masyarakat hingga puluhan ribu hektar, mengklaimnya sebagai bagian dari HGU mereka yang diterbitkan pada 2013. “Kami sudah susah payah tanam sawit, berharap panen di hari tua jadi penopang keluarga. Tapi begitu buahnya menggiurkan, mereka datang dengan alasan HGU dan rampas semuanya,” curhat seorang petani tua yang enggan disebut namanya, sambil menunjuk pohon sawit yang kini dikuasai pekerja perusahaan.
Gelombang kemarahan ini meledak di media sosial sejak akhir pekan lalu, dengan tagar #KeadilanUntukSilaut dan #StopSerobotLahan menjadi trending di platform X dan Instagram. Video-video warga memegang spanduk bertuliskan “Kembalikan Hak Kami” serta rekaman konfrontasi damai dengan satpam perusahaan menyebar luas, menarik perhatian aktivis lingkungan dan hak asasi manusia. Namun, di balik dukungan virtual itu, realitas di lapangan semakin kelam: demo yang awalnya damai kini berlangsung tegang, dengan warga mendirikan tenda sementara di depan kantor perusahaan di Kecamatan Lunang. Hingga kini, tak ada titik terang dari pihak PT Sukses Jaya Wood, yang kantornya sulit ditemukan tim investigasi independen—sebuah kejanggalan yang semakin menambah dugaan ketidaktransparanan operasional mereka.

Yang membuat konflik ini semakin rumit adalah tudingan warga terhadap keterlibatan elite lokal. Beberapa ninik mamak—tokoh adat yang seharusnya menjadi penjaga warisan tanah ulayat di Kecamatan Lunang dan Silaut—diduga terlibat dalam pembelaan perusahaan. “Mereka yang bertugas menjaga adat malah jadi tameng bagi Ahong. Kami tanya, siapa yang beri kuasa untuk jual tanah leluhur? Jawabannya sunyi,” kata seorang perwakilan Forum Warga Silaut Bersatu, yang meminta anonimitas karena takut represali. Dugaan ini diperkuat oleh laporan masyarakat bahwa pertemuan tertutup antara ninik mamak dan perwakilan perusahaan sering digelar, meski detailnya dirahasiakan.
Sementara itu, spekulasi tentang campur tangan pejabat tinggi semakin menggantung. Warga bertanya-tanya, apakah ada dukungan dari kalangan atas yang membuat Bupati Pesisir Selatan, Hendrajoni, terkesan lambat bertindak? Pada pertemuan 2 Oktober lalu, bupati mengakui adanya pelanggaran Perda dan Pergub oleh perusahaan, bahkan berjanji menindak tegas. Namun, alasan “tak ada anggaran untuk kunjungan lapangan” yang disampaikannya justru memicu kekecewaan lebih dalam. “Jika bupati tak punya dana untuk rakyatnya sendiri, ke mana APBD mengalir? Apakah ada tangan tak terlihat yang lindungi perusahaan ini?” tanya seorang aktivis lokal yang terlibat dalam advokasi.
Baca juga : La Roja Mengamuk: Mikel Merino Jadi Algojo Ganda, Spanyol Hancurkan Bulgaria 4-0 di Jalur Piala Dunia 2026
Di tengah hiruk-pikuk itu, suara penyokong warga justru datang dari dalam lembaga legislatif. Novermal, S.H., M.H., anggota DPRD Kabupaten Pesisir Selatan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), muncul sebagai pahlawan bagi para demonstran. Dalam pernyataan resminya pekan ini, Novermal menegaskan dukungan penuh terhadap perjuangan masyarakat Silaut. “Apa yang dilakukan warga adalah hak konstitusional. PT Sukses Jaya Wood telah merampas hak hidup rakyat kecil. Saya dorong pemerintah daerah cabut izin mereka dan kembalikan lahan secara adil,” katanya kepada awak media saat kunjungan ke lokasi demo. Dukungan Novermal, yang dikenal sebagai ahli hukum adat, memberi semangat baru bagi warga, meski ia juga mengkritik lambatnya respons Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam memverifikasi HGU yang diduga cacat hukum.
Hendri Mal, atau yang akrab disapa Pak Malur, menjadi salah satu wajah paling vokal dari gerakan ini. Sebagai petani berusia 58 tahun yang kehilangan satu hektar lahannya, Pak Malur tak henti-hentinya berorasi di depan massa. “Kepada siapa lagi kami mengadu untuk tuntut hak kami yang diserobot PT Sukses Jaya Wood? Apakah kami sebagai masyarakat Silaut harus diam saja atas kezaliman ini? Kami sebagai rakyat Republik Indonesia berhak ambil kembali apa yang menjadi milik kami,” ujarnya dengan suara parau, mata berkaca-kaca, saat diwawancarai di tengah tenda demo pada 14 Oktober.

Lebih lanjut, Pak Malur tak segan menyuarakan seruan langsung ke tingkat nasional. “Dengan segala hormat atas apa yang telah dilakukan PT Sukses Jaya Wood, kami minta Presiden Prabowo Subianto tolong bantu kami yang telah dizalimi. Jangan biarkan rakyat kecil seperti kami terinjak oleh roda ekonomi yang tak adil,” tambahnya, sambil memegang foto keluarga di depan pohon sawit yang kini jadi saksi bisu perjuangan. Pernyataannya ini langsung viral, dengan ribuan like dan share di media sosial, memperkuat narasi bahwa konflik ini bukan urusan lokal semata, melainkan cerminan ketidakadilan agraria yang masih menghantui Indonesia pasca-reformasi.
Hingga 15 Oktober ini, pihak perusahaan tetap bungkam. Upaya kontak dengan Ali Suyanto tak membuahkan hasil, sementara aparat keamanan setempat menjaga situasi agar tak memanas. LSM lingkungan seperti WALHI Sumbar telah menyatakan siap mendampingi warga ke pengadilan jika mediasi gagal, sementara pakar hukum dari Universitas Andalas menilai kasus ini berpotensi jadi preseden penting bagi penegakan HGU di Sumatera Barat.
Di mata warga Silaut, demo ini bukan akhir, tapi permulaan. “Kami bosan dan geram, tapi kami tak akan mundur. Hak kami adalah warisan, bukan barang dagangan,” tegas seorang ibu rumah tangga yang ikut berjaga di posko demo. Saat matahari terbenam di pesisir selatan, api perjuangan Silaut tetap menyala—menanti angin perubahan yang mungkin datang dari Jakarta, atau justru dari hati nurani para pemangku kekuasaan yang selama ini diam.
Pewarta : Sami S
