
RI News Portal. Subulussalam, 12 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk persiapan pembangunan Sekolah Rakyat yang baru saja diresmikan lokasinya di Kampung Buluh Dori, Kecamatan Simpang Kiri, Kota Subulussalam, sebuah bayang-bayang gelap masih menyelimuti kehidupan sehari-hari warganya. Puluhan keluarga miskin ekstrem di kampung ini kini kembali mengangkat suara, menuntut pencairan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bersumber dari Dana Desa yang telah tertunda berbulan-bulan. Bukan sekadar keterlambatan administratif, tapi dugaan penggelapan yang menyeret nama mantan Penjabat (Pj) Kepala Desa, Dosti, menjadi pusat kontroversi yang kian memanas.
Cerita ini bermula dari keluhan yang bergema sejak awal tahun. Warga, mayoritas ibu rumah tangga yang bergantung pada bantuan sosial untuk memenuhi kebutuhan pokok, telah berulang kali menyuarakan aspirasi mereka. Beberapa waktu lalu, puluhan “emak-emak” mendatangi Kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Subulussalam, membawa spanduk sederhana bertuliskan “Kembalikan Hak Kami”. Mereka mengadu nasib, memohon agar dana BLT yang menjadi hak mereka segera dicairkan. Namun, hingga kini, janji itu hanya bergema kosong, meninggalkan rasa frustrasi yang semakin dalam di hati warga.
Keluhan ini bukanlah suara sepi. Sudah menjangkau berbagai tingkatan pemerintahan: dari DPMK, Kantor Camat Simpang Kiri, hingga Pemerintah Kota Subulussalam. Tapi, respons yang diterima hanyalah keheningan yang menyakitkan. “Kami sudah capek menunggu. Anak-anak butuh makan, obat, dan sekolah. BLT ini bukan bonus, tapi hak kami yang sudah dicatat sebagai keluarga miskin,” ungkap seorang warga perempuan yang enggan disebut namanya, sambil menahan isak di pinggir jalan tanah Buluh Dori yang berdebu.

Penelusuran lebih dalam menguak lapisan masalah yang lebih rumit. Pj Kepala Desa Buluh Dori yang baru, Mihardi, membenarkan bahwa kasus ini telah menjadi sorotan publik sejak lama. Dalam wawancara eksklusif awal Oktober lalu, Mihardi mengungkapkan, “Ini bukan hanya soal BLT. Ada warisan penyimpangan keuangan dari masa lalu yang menjadi beban berat bagi kami sekarang.” Menurutnya, dugaan penggelapan dana BLT oleh Dosti telah ditangani langsung oleh Kadis DPMK. Bahkan, pihak keluarga mantan Pj Kepala Desa telah diminta untuk segera mengembalikan dana yang belum tersalurkan ke warga. “Kami sudah berikan tenggang waktu, tapi hingga batas yang ditentukan, belum ada titik terang,” tambah Mihardi dengan nada prihatin.
Namun, BLT hanyalah puncak gunung es. Mihardi mengungkapkan adanya sejumlah persoalan keuangan dan administrasi yang terbongkar belakangan. Salah satunya, pembangunan kantor kepala desa senilai lebih dari Rp200 juta yang pertanggungjawabannya belum tuntas. Belum lagi tunggakan pajak desa dari tahun 2023 hingga 2024 yang ditinggalkan oleh mantan Pj. “Saya sudah lunasi pajak 2025 dengan susah payah, tapi beban masa lalu ini membuat roda desa macet,” keluh Mihardi, suaranya sarat kekesalan saat berbincang dengan tim redaksi di kantor desa yang sederhana itu.
Baca juga : Gelombang Kemarahan Petani Silaut: Demo Damai Lawan ‘Pembabatan’ Lahan oleh PT Sukses Jaya Wood
Dari perspektif akademis, kasus ini mencerminkan kerapuhan tata kelola dana desa di tingkat akar rumput, khususnya di wilayah pedesaan Aceh yang masih bergulat dengan tantangan pasca-konflik dan ketimpangan ekonomi. Menurut analisis pakar tata kelola publik dari Universitas Syiah Kuala, fenomena seperti ini sering kali berakar dari lemahnya pengawasan internal desa dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran. “Dana desa seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan, bukan sumber konflik. Penyelewengan BLT, yang langsung menyentuh hajat hidup orang miskin, bisa memicu ketidakstabilan sosial jika tak segera ditangani,” kata Dr. cut Nyak Meutia, dosen ilmu pemerintahan, yang menyoroti kasus serupa di Aceh.
Tekanan dari warga kini mengarah pada tuntutan yang lebih tegas: keterlibatan aparat penegak hukum (APH). “Dana desa bukan milik pribadi, itu hak masyarakat. Kami harap polisi dan kejaksaan segera turun tangan, jangan biarkan ini jadi ‘potret buram’ yang merusak citra pembangunan Subulussalam,” tegas seorang tokoh masyarakat Buluh Dori, yang memilih anonim untuk menghindari konflik internal.
Di tengah rencana megah pembangunan Sekolah Rakyat yang diharapkan menjadi simbol kemajuan, kisah Buluh Dori ini justru menjadi pengingat pahit: tanpa akuntabilitas yang kokoh, setiap upaya pembangunan berisiko runtuh di atas fondasi yang rapuh. Warga menanti, bukan hanya dana, tapi keadilan yang nyata. Hingga kini, DPMK dan instansi terkait belum merespons secara resmi, meninggalkan pertanyaan besar: kapan akhir dari kisah pilu ini?
Pewarta : Jaulim Saran
